Alkisah dalam sebuah cerita pasca Bharatayudha berakhir, Aswatama yang pengecut dan karena itu juga menjadi kejam, memasuki tenda dimana kubu Pandawa sedang lelap. Ia menikam orang-orang yang sedang tidur. Drestajumena, Srikandi dan Pancawala tidak bisa melihat matahari esok paginya. Sementara Utari terbangun dan menyelamatkan diri beserta bayi dalam kandungannya.
Sang bayi ini lah yang dikenal dengan nama Parikesit nantinya, pewaris tahta Pandawa pengganti Pancawala yang mati. Tidak tanggung-tanggung, 2 kerajaan sekaligus hasil kemenangan Bharatayudha akan dipegang olehnya, Hastina dan Indraprastha.
Sang bayi ini lah yang dikenal dengan nama Parikesit nantinya, pewaris tahta Pandawa pengganti Pancawala yang mati. Tidak tanggung-tanggung, 2 kerajaan sekaligus hasil kemenangan Bharatayudha akan dipegang olehnya, Hastina dan Indraprastha.
Parikesit sebenarnya cucu dari Arjuna, bapaknya adalah Abimanyu, dengan asuhan kesaktian mahaguru Baladewa. Sebagai raja ala Pandawa yang adil dan budiman, segala kegelisahannya tentang rakyatnya selalu menjadi gundah hatinya. Goenawan Muhammad dalam Asmaradana menuliskan sebuah cerita renungan Parikesit terhadap rakyat-rakyatnya,
Jauh di bawah terpacak rakyatku menunggu. Mereka yang menyelamatkan dan juga menyiksa diriku. Mereka yang berdoa, sementara aku tiada berdoa. mereka yang punya angin-angin sendiri, hujan-hujan sendiri, dan duka cita yang sendiri. Mereka yang tahu kita tak bisa berbagi. Tapi siksa ini adalah siksa mereka, siksa mereka yang kuwakili di atas kelemahan tangan-tanganku
Mungkin itulah kenapa gelar Raja atau Sultan dalam berbagai kehidupan feodal zaman dahulu dianggap sangat tinggi, selain harus menjaga kestabilan, keamanan dan kenyamanan wilayah kekuasaannya, dia juga selalu dalam kondisi menanggung setiap derita rakyatnya.
Tapi tidak dipungkiri juga jika jabatan tersebut lahir karena warisan struktur sosial zaman dahulu, yang percaya Raja atau Sultan adalah perpanjangan tangan adikodrati penguasa Alam Semesta, seperti kata Arief Budiman dalam Teori Negara-nya.
Saya tidak pernah paham arti dari pemerintahan feodalisme seutuhnya. Karena sekian tahun hidup di Indonesia yang mengaku Presidensil, walau presidennya sendiri tidak bebas dari campur tangan legislatif aka partai politik. Tetapi selama berada di kota Yogya ini, saya berkesempatan menangkap sebuah kehidupan ala feodalisme dalam tatanan yang bisa saya terima dengan akal sehat dan nurani saya.
Tersebutlah seorang sultan di Yogyakarta ini. Dia bukan sembarang sultan dengan berbagai gelar keturunan membawa adikodrati leluhur-leluhurnya. Keberuntungan saya bertemu beliau langsung sebelum dengar gegap gempita tenar namanya seperti cerita gagahnya Sultan lain di Yogya ini. Dia cuma seorang sultan dengan “S” kecil buat saya, karena memang tidak ada rona kapital “S” dalam sudut pandang kacamatanya. Sebuah acara silaturahmi pertama saya dengan komunitas Yogya, justru langsung dihadiri sang sultan rendah hati ini.
Saat silaturahmi itu, penampilannya sama sekali membunuh kepecayaan saya tentang arti feodalisme selama ini. Selama ini saya melihat Sultan-Sultan di komunitas lain, selalu berwibawa, selalu menjaga bicara, selalu berusaha terlihat berada pada posisi di atas bawahannya. Tetapi sultan satu ini hadir di situ hanya bermodal baju kaos yang terlihat cukup bau, dengan celana gombrong berwarna kuning ngejreng. Biasanya segala sesuatu atribut di kepala seorang Sultan diletakkan proporsional nan wibawa. Lha ini ndak sama sekali. Topi jelek yang dipakai sultan satu ini cuma sekedar hinggap seenak nya saja, entah miring kiri atau kanan, tergantung seenaknya dia berpose kapan sempat di depan kamera.
Seorang punggawa memperkenalkannya (bukan dia yang memperkenalkan dirinya) sebagai sultan-nya komunitas Bloger kota Yogyakarta. Zam namanya.
Tidak ada yang istimewa sebenarnya tentang lelaki ini. Saya cuma merasakan kedekatan yang juga tidak bisa dibilang dekat. Dikata saya jauh, juga tidak. Tetapi melihat segala atensi-nya dan perjuangannya dalam mengelola sebuah negara kecil yang berisi bloger-bloger dengan berbagai kepala, idealisme dan ide cerita, justru membuat saya percaya beliau adalah orang yang paham akan kekuasaan sultan ala Parikesit. Dia menghormati orang tua, tetapi dia juga tidak melupakan kodratnya sebagai anak muda dengan muka tua, seperti candi-candi tua yang selalu berusaha dikenalkannya dalam blog dengan bahasa-bahasa berjiwa muda.
Zam sadar kalau bersikap sopan adalah mutlak, tetapi dia juga tahu kapan harus menjadi gila. Perpaduan yang unik bagi saya, tidak heran komunitas Cahandong yang dipimpinnya ini bisa tetap survive walau laju Andong dan Kuda semakin liar dan kencang ke depannya. Soal kuda dan andong yang semakin kencang jalannya ini, saya pernah mengungkapkan kepada beliau. Dan jawabnya sederhana “Kita harus siap mengikuti era keemasan ini, segala popularitas ini. Resiko yang harus dijawab Cahandong saat ini. Tetapi kita tidak bisa pungkiri, semua itu ada masanya. Pergunakan sebaik-baiknya masa yang gemilang ini”, kira-kira begitu sabdanya jika dibahasakan secara bijak. Karena bahasa aslinya sangat khas ala Zam yang penuh pisuhan, gaya ngeselin dan dagelan kere.
Mimpi adalah kejaran. Setiap kesempatan adalah pilihan yang bisa diambil atau tidak. Dan seorang sultan juga manusia biasa, demikian Zam menyadari takdir adikodrati versi dirinya. Tuntutan meraih kesempatan yang akhirnya membawanya harus melanglang buana tapabrata ngelmu di negeri tetangga. Tentunya saya yakin ngelmu untuk menjadi pribadi lebih baik, tidak suka misuh-misuh sembarangan lagi, rajin mandi dan belajar mengelola duit jutaan di rekeningnya nanti.
Lalu kenapa dia menjadi penting di Warung Kapucino saya? Karena saya cuma merasa dekat dengannya, saya senang berjalan-jalan ke berbagai candi dan heritage bersamanya. Dia semacam teman diskusi soal sejarah yang hebat bagi saya. Jelas saya kehilangan, seperti menemukan seorang teman baru yang ngesoul, tetapi keburu berpisah. Tetapi begitulah hidup bukan? Seperti yang selalu saya alami dengan sahabat-sahabat saya lainnya, kita tidak pernah tahu kapan mimpi malah menjemput kita.
Saya jadi teringat frame terakhir cerita Parikesit. Dia memang dikutuk mati dipatuk ular Taksaka karena sumpah anak pendeta Samiti. Dalam penungguan di ujung menara kekuasaan, dia menyadari belum sempat mengerti arti kekuasaan Raja atau Sultan sesungguhnya. Sayangnya dia hanya terdiam dalam renungan berujung kematian, kesepian dalam kursi kekuasaan tanpa pencapaian hidupnya sendiri,
Bukan kegelisahan dahsyat yang hendakkan semua itu. Bukan siksa menunggu yang menyuruhku. Tapi kurindukan kemenangan-kemenangan, kemenangan yang mengalahkan kecut hatiku. Karena memang kutakutkan selamat tinggal yang kekal. Seperti bila dari tingkap ini kuhembuskan nafasku dan tak kembali tanpa burung-burung, tanpa redup sore di pohon-pohon tanpa musim..
(Pariksit – dalam Goenawan Muhammad, Asmaradana, jakarta: Grasindo, 1992, hal 18-21)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar