Gatotkaca (Wanda)
Pada perang tanding itu Gatotkaca terkena pukulan Aji Gineng yang dimilliki oleh Dursala, sehingga pingsan. Ia segera diamankan oleh saudara-saudaranya, para putra Pandawa. Di tempat yang aman Antareja menyembuhkannya dengan Tirta Amerta yang dimilikinya. Gatotkaca langsung pulih seperti sedia kala. Namun, ia sadar, bahwa kesaktiannya belum bisa mengimbangi Dursala. Selain malu, Gatotkaca saat itu juga tergugah untuk menambah ilmu dan kesaktiannya. Ia lalu berguru pada Resi Seta putra Prabu Matswapati dari Wirata. Dari Resi Seta putra Bima itu mendapatkan Aji Narantaka. Setelah menguasai ilmu sakti itu Gatotkaca segera pergi mencari Dursala. Dalam perjalanan ia berjumpa dengan Dewi Sumpani yang menyatakan keinginannya untuk diperistri. Gatotkaca menjawab, jika mampu menerima hantaman Aji Narantaka maka ia bersedia memperistri wanita cantik itu.
Dewi Sumpani ternyata mampu menahan Aji Narantaka. Sesuai janjinya, Gatotkaca lalu memperistri Dewi Sumpani. Dari perkimpoian itu mereka kelak mendapat anak yang diberi nama Jayasumpena. Keinginan Gatotkaca untuk bertemu kembali dengan Dursala akhirnya terlaksana. Dalam pertempuran yang kedua kalinya ini, dengan Aji Narantaka itu Gatotkaca mengalahkan Dursala.
Meskipun Gatotkaca selalu dilukiskan gagah perkasa, tetapi pecinta wayang pada umumnya tidak menganggapnya memiliki kesaktian yang hebat. Dalam pewayangan, lawan-lawan Gatotkaca biasanya hanyalah raksasa-raksasa biasa, yakni Butaprepat yang seringkali dibunuhnya dengan cara memuntir kepalanya. Dalam perang melawan raksasa, Gatotkaca selalu bahu membahu dengan Abimanyu. Gatotkaca menyambar dari udara dan Abimanyu di darat.
Lawan-lawan Gatotkaca yang cukup sakti hanyalah Prabu Kala Pracona, Patih Kala Sakipu, Boma Narakasura dan Dursala.
Karena Dewi Arimbi sesungguhnya seorang raseksi (raksasa perempuan), maka dulu Gatotkaca dalam Wayang Kulit Purwa digambarkan berujud raksasa, lengkap dengan taringnya. Namun sejak Susuhunan Paku Buwana II memerintah Kartasura, penampilan peraga wayang Gatotkaca dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa diubah menjadi ksatria tampan dan gagah, dengan wajah mirip Bima. Yang diambil sebagai pola adalah bentuk seni rupa wayang peraga Antareja tetapi diberi praba.
Nama Gatotkaca yang diberikan pada anak Bima ini berarti “rambut gelung bundar”. Gatot artinya sesuatu yang berbentuk bundar, sedangkan kata kaca artinya rambut. Nama itu diberikan karena waktu lahir anak Bima itu telah bergelung rambut bundar di atas kepalanya.
Dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa gagrak Surakarta tokoh Gatotkaca ditampilkan dalam enam wanda, yakni wanda Kilat, Tatit, Guntur, Panglawung, Gelap, dan Dukun. Pada tahun 1960-an Ir. Sukarno Presiden RI, menambah lagi dengan tiga wanda ciptaannya, yakni Gatotkaca wanda Guntur Geni, Guntur Prahara dan Guntur Samodra. Pelaksanaan pembuatan wayang Gatotkaca untuk ketiga wanda itu dilakukan oleh Ki Cerma Saweda dari Surakarta.
Mengenai soal wanda ini ada sedikit perbedaan antara seni kriya Wayang Kulit Purwa gagrak Surakarta dengan gagrak Yogyakarta. Di Surakarta, wanda-wanda Gatotkaca adalah wanda Tatit yang diciptakan oleh raja Kartasura, Paku Buwana II (1655 Saka atau 1733 Masehi). Bentuk badannya tegap, mukanya tidak terlalu tunduk, bahu belakang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan bahu depan.
Wanda Kilat diciptakan pada zaman pemerintahan Paku Buwana I, yakni pada tahun 1627 Saka atau 1705 Masehi. Kedudukan bahu depan dan bahu belakang rata, mukanya agak tunduk tetapi tidak setunduk pada wanda Tatit, pinggangnya lebih ramping dan posisinya agak maju, sehingga menampilkan kesan gagah.
Wanda Gelap mempunyai kesan bentuk badan yang lebih kekar dan tegap, bahu belakang lebih tinggi dibandingkan dengan bahu depan, sedangkan mukanya lebih tunduk ke bawah dibandingkan dengan wanda Tatit. Kapan dan oleh siapa wanda ini diciptakan, tidak diketahui dengan jelas.
Gatotkaca wanda Gelap merupakan ciptaan keraton terakhir, yakni pada zaman pemerintahan Paku Buwana IV (1788-1820 M) di Surakarta. Badannya kekar dan kokoh, bahu belakang lebih tinggi dibandingkan bahu depan, dengan muka agak datar. Pinggangnya langsing seperti pada wanda Kilat.
Wanda Guntur, yang diciptakan pada tahun 1578 Saka atau 1656 Masehi, merupakan wanda Gatotkaca yang tertua dalam bentuknya yang kita kenal sekarang ini. Dulu sebelum diciptakan peraga Gatotkaca wanda Guntur, Wayang Kulit Purwa menggambarkan bentuk Gatotkaca sebagai raksasa dengan tubuh besar, wajah raksasa, lengkap dengan taringnya.
Dengan pertimbangan bahwa wajah seorang anak tentu tidak jauh beda dengan orang tuanya, Sunan Amangkurat Seda Tegal Arum, raja Mataram memerintahkan para penatah dan penyungging keraton untuk menciptakan bentuk baru peraga Gatotkaca dengan meninggalkan bentuk raksasa sama sekali. Tubuh dan wajahnya dipantaskan sebagai anak Bima. Maka terciptalah bentuk baru Gatotkaca yang disebut wanda Guntur itu. Bentuk badan Gatotkaca wanda Guntur menampilkan kesan kokoh, kuat, dengan bahu depan lebih rendah daripada bagu belakang, seolah mencerminkan sifat andap asor. Wajahnya juga memandang ke bawah, tunduk. Pinggangnya tidak seramping pinggang Gatotkaca wanda Kilat. Secara keseluruhan bentuk tubuh wanda Guntur seolah condong ke depan.
Sementara itu, seni kriya Wayang Kulit Purwa gagrak Yogyakarta, membagi Gatotkaca atas empat wanda, yakni wanda Kutis yang biasanya dimainkan untuk adegan perang ampyak, wanda Prabu yang menampilkan kesan berwibawa, khusus ditampilkan pada kedudukan Gatotkaca sebagai raja di Pringgadani, wanda Paseban dipakai kalau Gatotkaca sedang menghadap para Pandawa, sedangkan wanda Dukun dipakai jika Ki Dalang menampilkan adegan Gatotkaca sedang bertapa. Bentuk bagian perut Gatotkaca wanda Dukun ini agak gendut dibandingkan ukuran perut Gatotkaca pada wanda lainnya.
Berbagai Lakon yang Melibatkan Gatotkaca
1. Gatotkaca Lair (Lahirnya Gatotkaca)
2. Pregiwa – Pregiwati
3. Gatotkaca Sungging
4. Gatotkaca Sewu
5. Gatotkaca Rebutan Kikis
6. Wahyu Senapati
7. Brajadenta – Brajamusti
8. Kalabendana Lena
9. Gantotkaca Rante
10. Subadra Larung
11. Aji Narantaka
12. Gatotkaca Gugur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar