Jumat, 13 Juli 2012

Arjuna Bertapa Di Gunung Indrakila

Arjuna Bertapa Di Gunung Indrakila


Bajra adalah tempat liburan yang menyenangkan. Selain bisa bermain bebas di sawah, tiap malam selalu ada acara bercerita dari Ratu Kompyang. Perlu diketahui, kita ini dari keluarga Brahmana. Karena itulah nama papa IBM atau Ida Bagus Made Jaya Martha. Ratu Kompyang adalah pedanda atau pemimpin upacara agama Hindu.

Ratu kompyang orangnya pendiam, jarang bicara, setiap hari rajin membaca dan menulis di buku atau kadang-kadang di daun lontar. Banyak sisia – atau orang-orang yang datang minta di selesaikan upacaranya. Biasanya mereka di terima di Bale Bertiang Sembilan yang ada di tengah-tengah halaman rumah. Semuanya duduk bersila di lantai balai-balai tersebut, berdialog kebanyakan masalah budaya dan agama.
Terkadang-kadang papa disuruh bantuin membersihkan lontar menggunakan buah kemiri dibakar lalu ditumbuk. Minyaknya di oleskan ke permukaan daun lontar, sehingga torehan di atas daun lontar menjadi jelas dan juga lontar menjadi lemas tidak mudah patah.Akibat hobi membersihkan lontar waktu kecil, maka papa tertarik mengerjakan skripsi sarjana S1 waktu di Teknik Informatika ITB dengan judul Teks Editor Berhuruf Bali.
Pada malam hari, acara menarik lain dengan Ratu Kompyang adalah bercerita. Acara ini berlangsung sampai kami mengantuk. Ceritanya macem-macem dan berganti-ganti setiap malam. Kebanyakan ceritanya dari Mahabrata atau Ramayana. Tapi ada satu cerita yang diceritakan berulang kali, dan menurut saya paling seru dan paling banyak di minati. Yaitu Arjuan Bertapa di Gunung Indrakila.
Alkisah sang arjuna di suruh bertapa di puncak gunung Indrakila. Dia bertapa untuk mendapatkan anugrah dari Hyang Widhi, agar dapat digunakan untuk mengarungi bahtera kehidupan. Dalam perjalanan, di kaki gunung indrakila, arjuna di hadang oleh babi hutan. Babi hutan itu menyeruduk arjuna, menanduk, menyepak sehingga kewalahan. Kemana arjuna lari tetap dikejar. Akhirnya Sang Arjuna melompat agak jauh, memasang anak panah pada gendawanya, dan membidik tepat ke perut babi itu. Ceeep …. babi itu tewas seketika.
Setelah mengalahkan babi, Arjuna melanjutkan perjalanan mendaki gunung itu. Dalam pendakian, setelah menyeberang sungai nan jernih dan indah, tiba-tiba Arjuan dikejutkan oleh ular berkepala dua yang menghadang perjalanannya. Singkat cerita, dia diserang, dipatuk di lilit. Ekor ular di pegang Arjuna, kepalanya mematuk dia. Kepala yang satu di pegang, kepala lain menubruk dari belakang. Arjuna kerepotan, kembali dia melompat menjauh, sambil merapal mantra memasang dua anak panah sekaligus pada busurnya. Anak panah melesat, langsung menembus dua kepala yang dimiliki oleh si ular. Ular lemas tergeletak tak berdaya.
Ular telah dikalahkan, arjuna beristirahat lalu mandi di tengah telaga nan jernih. Sehabis mandi dia tersentak melihat Goa di tepi telaga. Lalu dia melewati goa itu, yang ternyata rumah seorang raksasa sakti mandraguna. Sang raksasa bangun mencium bau adanya manusia. Dan dia marah, karena Arjuna telah berani mandi di telaga miliknya. Arjunapun marah mendengar kata-kata kasar dari raksasa lalu menantangnya untuk berkelahi. Sang Raksasa wajahnya merah, rambutnya gimbal, mata melotot dan taringnya tajam. Mereka sama saktinya. Masalahnya adalah, ketika raksasa itu dipukul oleh arjuna, bukannya tambah loyo, bahkan tambah kuat. Di panah tidak mempan. Di pukul pake batang kayu, malah tambah kuat dan garang. Arjuna kehilangan akal. Lalu dia melompat ke belakang, lalu dia duduk mencakupkan tangan, hening, memusatkan pikiran dan pasrah pada kehendak Sang Pencipta. Anehnya raksasa itu makin kecil, kecil, kecil akhirnya hilang.
Perjalanan dilanjutkan sampai ke puncak gunung Indrakila. Di sanalah Arjuna bertapa dengan khusus, memohon berkah dari Hyang Manon. Di tengah upaya tapanya, datanglah goodaan bidadari supraba yang diutus oleh Bhatara Guru. Arjuna tak tergoda, akhirnya Sang Hyang Siwa berkenan datang ke hadapan Arjuna dan memberikan panah yang disebut Panah Pasopati. Panah Pasopati itu adalah senjata ampuh arjuna, ketika menjadi panglima saat perang Bharatayudha. Tancep Kayon. Cucu-cucu pada bubar.
Cerita ini sangat membekas di hati papa. Dan ketika sudah besar papa renungkan cerita itu, ternyata ada makna yang dalam di balik cerita seru tadi. Inilah interpretasi papa :
Babi adalah lambang keserakahan. Serakah adalah sifat umum manusia. Manusia yang berhati serakah, diberi seluruh kekayaan bumipun tidak merasa puas. Ingat film James Bond – World is not enough. Karena itulah, bekal untuk mengarungi kehidupan adalah kemampuan kita untuk mengendalikan atau bahkan mematikan keserakahan itu. Berikutnya adalah ular berkepala dua, yang jadi simbul dengki iri hati. Makanya orang yang licik itu, terkadang disebut ular berkepala dua. Dalam melaksanakan hidup, kita terkadang memiliki rasa iri hati yang semuanya itu berasal dari pikiran kita. Atau juga kita terkadang menghadapi orang dengki iri hati. Orang iri ini sangat berbahaya, mulutnya manis, tapi bisa nikam dari belakang. Karena itulah, pikiran iri hati harus di-”bunuh” dan orang dengkipun harus “dibunuh” pikiran dengkinya.
Setelah masalah iri hati, berikutnya raksasa yang menjadi simbol amarah. Raksasa berwajah merah rambut gimbal taring tajam adalah lambang kemarahan. Kemarahan kalau dilawan dengan marah, bagaikan api disiram bensin. Kemarahan akan padam dengan sendirinya jika dilawan dengan hening, mundur selangkah lalu pasrah.
Yang terakhir, godaan di puncak gunung adalah nafsu birahi. Begitu banyak orang yang sedang berada di puncak kekuasaannya, tergelincir karena nafsu birahi. Berat sekali cobaan yang dihadapi oleh Arjuna untuk mendapatkan panah pasopati.
Cerita anak-anak yang seru itu, ternyata mengandung banyak arti yang bisa memberikan saya penyuluh hidup bertahun-tahun kemudian. Kini Ratu Kompyang sudah meninggal, namun cerita Arjuna Bertapa di Gunung Indrakila, menjadi kenangan indah yang tak terlupakan.
Papa berharap, semoga papa bisa seperti Ratu Kompyang, bercerita lucu dan seru, namun tidak meninggalkan nilai-nilai moral yang bisa digunakan sebagai pegangan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar