Jumat, 13 Juli 2012

Baladewa: Tokoh Negara Non Blok

Baladewa: Tokoh Negara Non Blok

Negara Non Blok tidak hanya terdapat dalam dunia nyata, pewayangan pun memiliki negara semacam itu. Mandura, demikian namanya, dipimpin Prabu Baladewa , putra Basudewa. Istrinya bernama Irawati, putri Salya, berputra Wisata.

Ia profil manusia bangsawan tapi berpola pikir sederhana. Hitam akan dikatakan hitam, putih dikatakan putih tanpa rekayasa. Berpendirian netral, tak mau campur urusan dalam negeri orang lain, tapi juga menolak campur tangan asing atas negerinya. Hidup berdampingan secara damai dan saling menguntungkan.
Sifat temperamental tapi tak berlangsung lama karena hatinya baik. Kelemahannya kurang wiwaha, tak panjang pikiran, hingga mudah dipengaruhi, tapi mudah pula dibawa kejalan yang benar. Artinya, jika telah diketahui bahwa persoalan yang dihadapi akan berakibat buruk, ia segera mundur tak mau ikut campur.
Meskipun pendiriannya netral, tak berarti pasif. Kehadirannya pada seitap musyawarah di Keraton Astina menunjukkan ahwa ia aktif memberi sumbangan pikiran memecahkan persoalan yang dihadapi negeri itu. Meskipun demikian, Mandura bukan negara protektorat. Hanya sedikit banyak pengaruh buruk kaum Kurawa yang seringkali mendiskreditkan Pandawa sering mempengaruhinya, sehingga tak jarang Baladewa dijadikan senjata untuk mengintimidasi Pandawa. Tapi pengaruh buruk itu dapat diredam setelah persoalannya dinetralisir oleh Kresna.

Menghadapi perang Baratayudha, Baladewa tetap konsisten dengan sikapnya yang netral, tak mau berpihak pada salah satu golongan baik pada Kurawa maupun Pandawa. Terlalu banyak pertimbangan yang menyita perasaan bila ia berpihak di pihak Kurawa ada sang mertua (Salya), sedang di Pandawa ada Kresna (adik seayah) yang justru bertugas mengatur jalannya perang mengendalikan keadilan. Maka jalan terbaik adalah… NETRAL.
Tetapi menurut versi lain ketidakikutsertaanya dalam perang Baratayudha adalah atas taktik Kresna yang membelokkan perhatian Baladewa supaya bertapa di Grojogan Sewu hingga usainya Baratayudha. Sebab bila saudara seayahnya terlibat pasti akan berada di jajaran kaum Kurawa, karena mertuanya berada di pihak duryudana Cs. Itu berarti akan terjadi perang senjata canggih antara Cakra dan Nanggala.
Walaupun ia bersikap netral, emosinya pernah memuncak tatkala menyaksikan perang tanding antara Bima dan Duryudana. Ketika itu Bima memukul paha lawannya hingga pingsan, karena tidak dibenarkan memukul anggota badan tersebut. Saking murkanya ia hendak melepas senjatanya ke arah Bima, tapi dengan cekatan kresna menghalangi seraya menerangkan duduk perkaranya, bahwa pemukulan ke arah paha bukan salah Bima, tetapi Duryudana melompat terlalu tinggi hingga mengenai pahanya.

Sesuai sifatnya yang mudah marah tetapi mudah baik, seketika amarahnya reda. Padahal pukulan Bima mengenai paha Duryudana adalah akibat kutukan Resi Matireja terhadap Duryudana yang dahulu pernah menggebug paha resi itu.

Ia berusia panjang hingga zaman Parikesit dan tetap dihormati sebagai orangtua yang punya wibawa dan sering dimintai nasihatnya. Akhir riwayat Baladawa, menurut Mahabarata, bukan mati terbunuh, melainkan terjun ke laut dan menghilang. Hal itu terjadi setelah bangsa Yadawa, leluhur dan sanak keluarganya, saling gempur sesamanya hingga ludas. Konon peristiwa itu terjadi karena kutukan Dewi Anggandari yang mengutuk Kresna telah mengadu domba Kurawa dan Pandawa hingga ludas dalam perang Baratayudha.
Versi lain menerangkan matinya Baladewa diusia renta terinjak-injak oleh orang-orang yang inin melihat bayangan Arjuna, hingga badannya tertusuk Nanggala senjatanya sendiri. Yang jelas hingga akhir riwayatnya Baladewa tetap teguh dengan pendiriannya yang netral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar