Ramayana – IV. Parwo Reksomuko
Satria Pangulandaran.
Setelah membakar jenasah Kiai Jatayu, Romo & Lesmono meneruskan pengembarannya. Berbulan lamanya mereka mengembara sembari berguru ke guru2 sakti, padepokan2, dan asrama2 untuk menambah kedigdayan & kewaskitan mereka. Peristiwa yang baru berlalu bagaikan kawah Condrodimuko yang menggodok kedua pemuda itu makin menjadi kuat. Mereka sudah menjadi pria2 matang dan tangguh. Bukan lagi ABG yang hanya poya2 & hura2, tetapi manusia2 yang punya gegayuhan (cita2) dan bukan hanya sekedar trimo ing pandum. Mereka punya rencana hidup yang pasti. Mereka mau menggapai bintang gemintang dilangit biru.
“ Rasanya mustahil jika kita berdua menumbangkan rezim Mantoro. Lebih baik kita mencari kekuatan2 dari luar yang bisa kita ajak bergabung menumbangkan rezim Mantoro. “ Romo memaparkan rencananya, seperti Hun Seng yang mendatangkan Legiun Asing dari Vietnam menghadapi rezim Khmer Merah.
“ Apa yang akan kita tawarkan kepada mereka ? “ Lesmono bertanya.
“ Kita bisa tawarkan sebagian jajahan Ayudyo kepada mereka, harta benda, atau expansi bersama “
“ Jika mereka tidak berminat ? “
“ Kita lihat, jika kita mampu, kita bunuh rajanya, kita rebut kerajannya dan kemudian kita kerahkan tentaranya untuk menumbangkan rezim Mantoro. Lebih mudah bagi kita mencari negara baru karena kita sudah dikenal orang2 Ayudyo sehingga sulit sekali mendekati untuk membunuh emban Mantoro “
“ Masih adakah jalan lain ? “
“ Ada, kita merekrut satria2 sakti untuk bergabung dengan kita “
Sepanjang jalan kedua satria itu mematangkan rencana itu. Suatu hari, mereka mendaki sebuah bukit. Romo melihat banyak wanoro2. Wanoro2 ini adalah bahasa sanepo atau symbol. Sebenarnya yang dilihat adalah etnis lain, yang dilukiskan sebagai kera. (Saya agak rancu ras yang mana ini, yang jelas, bukan Arya). Wanoro2 ini menatap kedua satria ini dengan curiga. Romopun me-nebak2 curiga. Apakah mereka yang dimaksud dengan wanoro oleh Kiai Jatayu ? Tiapkali mereka didekati, mereka menjauh dengan sikap permusuhan. Kadang2 menyeringai menunjukkan taring2nya.
Romo naik terus dan makin tinggi ia naik, makin banyak wanoro2 itu. Mereka ber-gumam satu sama lain. Satu dua mulai mengganggu dua satrio itu dengan melempari mereka dengan batu. Bahkan ada yang berani mendekat. Kedua satrio itu tidak bergeming, maju terus. Mereka berharap menemukan Sinto disini. Romo membatin “ Mana rajanya, ayo kita bikin perhitungan “ Ketika sampai dipinggang gunung, wanoro2 itu makin banyak dan mengerumuni, dan satu dua mulai men-jerit2 serta menunjukkan sikap agresif. Beberapa bahkan berani me-narik2 pakaian dua pemuda ini. Jika mereka diladeni, mereka bubar bercerai berai sambil gaduh.
Tiba2 bagaikan orong2 terinjak, suara2 gaduh itu mendadak berhenti, suasana menjadi sunyi senyap. Dari balik gerumbul muncul sosok kera muda berbulu putih seperti kapas. Sikapnya penuh wibawa. Ia memakai ageman keprajuritan yang sangat bersahaja. Hanya satu hal yg membuatnya berbeda. Ia berkain Poleng, kain kotak2 seperti papan catur dengan warna putih, hitam dan merah. Romo terkesiap mengenali atribut kain Poleng itu. Ini alumni terbaik Akademi Militer Panglawung yang gubernur militernya Sang Hyang Bayu, Dewa Angin.
Èèèèèè ing èèèèèèèèèèèèng ……..
Ia berhenti menghadang ditengah jalan setapak. Sikapnya tegap, sikap militer dan matanya memandang tajam ke Romo. Tangannya menunujukkan sikap mempersilahkan, dengan santun tetapi memaksa. Ia berkata singkat dan tandas
“ Monggo, ikuti saya “
Romo paham bahwa dibalik sikap santunnya ada sikap yang tidak bisa di-tawar-2. Romo memberi kode kepada Lesmono untuk mematuhi kera putih itu. Kedua pemuda itu dengan patuh mengikuti kera putih berjalan menuju sebuah tenda. Keadan sekitarnya serba memprihatinkan dan terkesan serba darurat. Didalam tenda terbesar, tampak seorang kera yang duduk diatas kursi roda. Matanya biru lebam, pasti habis dihajar seseorang. Keningnya penjol2, kaki kirinya patah dan digips. Juga tangan kanannya digips dan digendong. Nyaris seluruh badannya tampak bilur2 sehabis digebugi. Pakaiannya yang sederhana penuh bercak2 darah. Romo membatin, mudah2an bedhès ini habis di-kabruk2 Sinto.
Episode 23
Gerilyawan Reksomuko I
Disebelahnya tampak seseorang berkepala bruang. Walau gerakannya nunak nunuk, dalam sekejap mata Romo tahu bahwa kera yang satu ini bukan sembarang kera. Matanya menatap Romo dan dahinya berkerenyit seolah dia sedang membaca Calculusnya Isac Newton. Ini pasti the think tank – sang pemikir. Disebelahnya lagi ada wanoro kera berbulu biru tinta dan ndekmu – cendhèk lemu, pendek dan gemuk. Seperty Danny de Vito. Perutnya buncit, mètèl2. Matanya kethap kethip seperti kethèk ditulup. Seperti kethèk ? Lho, ini kethèk beneran !
Yang diatas kursi roda berkata dengan geram. Ada nada pahit dalam geramannya :
“ Sudah, sekarang sudah kau temukan tempatku. Mau apa kau ! Ak0075 tidak sudi perang tanding dengan pesuruh. Kamu bukan levelku. Bilang sama gustimu untuk perang tanding ddenganku. Salah satu harus mati kali ini. “
“ Nanti dulu, saya kesini bukan pesuruh siapa2. saya sedang mencari istri saya … “
“ Tidak perlu mungkir, pura2 cari bini segala macam ! Tugasmu sebagai mata2 sudah berhasil. Ini papanku, mana gustimu ? Suruh ia kesini, aku tidak akan lagi tinggal glanggang colong playu. Hari ini hari kepastiannya. Aku atau gustimu harus mati !
Romo kebingungan dicecar begitu, tetapi memperhatikan adanya Kera putih itu, Romo mencoba menempuh jalan cerdik, ia menduga kera2 ini butuh uang. Tampaknya gerombolan ini miskin.
Ia bisa minta ibunya Dewi Susalyo atau mertuanya Prabu Janoko. Yang penting Sinto dibebaskan dulu. Perhitungan nanti. Demikian pemikiran Romo. Ia mencoba negosiasi.
“ Raja wanoro, saya jauh2 kesini bukan mencari pasulayan. Jika uang yang anda inginkan, katakan berapa saya harus … “
“ Buajingan ! Menghina kau, Tidak cukup nggebugi tubuhku, sekarang suruh orang untuk menghinaku ?! “ Bukan main marahnya ia, segera dipandangnya kera putih dan biru sembari menyerukan titahnya :
“ Bunuh kedua pesuruh itu ! “
Begitu marahnya ia, sehingga ia mencoba berdiri. Lupa bahwa kakinya patah. Ia jatuh terjerembab mencium siti bantolo sampai di-dabyang2 si kera tua. Hampir bersaman kera putih dan biru mbekèr (bhs Ind opo ?) dan mencolot menyerang Romo & Lesmono.
Akhirnya terjadi pertarungan. Romo melawan kera putih dan Lesmono lawan kera biru (tetapi tidak saru). Sejak semula Romo sudah menduga bahwa ia akan kesulitan melawan kera putih berkain Poleng ini. Tebakannya tidak salah. Alumni Panglawung ini benar2 tangguh. Romo kelelahan melawan kera putih ini. Tangannya sudah gatal akan menyelesaikan dengan senjata andalannya yang selalu digendongnya. Sekali tembak, kera putih ini akan hancur ber-keping2. Tetapi Romo kini adalah pria dengan perhitungan. Terbersit dibenaknya, wah, kalau aku bisa rekrut kera putih ini, bablas kowe Emban Mantoro !. Kera putih ini tidak bisa dibeli dengan uang atau pangkat. Ia hanya bisa dibeli dengan respek. Romo berpikir keras, bagaimana supaya kera putih ini bisa respek kepadanya ? Disisi lain, kera putih itu juga kaget, siapa ksatria pangulandaran ini. Sakti benar ? Dewakah ? Kera putih yang sudah mempelajari gaya bertarung berbagai perguruan terpesona dengan gaya Romo yang elegan. Walau anggun, gempurannya serasa meremukkan tulang belulangnya. Seluruh tulang belulangnya serasa hancur semua tetapi alumni Panglawung itu tidak pernah diajari untuk menyerah. Mati lebih terhormat.
Ditempat lain, Lesmono kebingungan menghadapi Danny de Vito, si pendekar – pendek kekar. Gaya tandingnya nyentrik, hit & run. Ia lari2 kesana kemari dan se-kali2 memukul. Sehabis memukul, lari ngibrit dan larinya lebih cepat dari Ferrari. Nafasnya nafas kuda ! Si Kera Birupun tak kalah bingungnya. Ini pemuda ayu dan dekik pipinya kok tandangnya seperti pria berotot ? Dirabanya rahangnya yang ngilu2 kena gebug pria ayu tadi. Siapa ini ? Lesmono menyimak abangnya yang tak kunjung menggunakan senjata pamungkas. Iapun tanggap bahwa abangnya punya perhitungan. Maka Lesmonopun tidak menggunakan senjata pamungkasnya.
Episode 24
Gerilyawan Reksomuko II
Sampai sekian lama, yang bertarung tidak menunjukkan tanda2 kalah menang. Masing2 pihak heran dengan ketangguhan lawannya. Kera tua itu mengamati pertarungan itu dan ia berkata kepada kera di kursi roda :
“ Gus, kedua satria pangulandaran itu nggendong senjata. Kalau mereka mau, dari tadi kedua staff kita sudah praloyo dari tadi. Kalau ia memang utusan untuk membunuh Gus, dari tadi kita sudah terbunuh. Saya rasa kedua orang itu punya maksud lain. Coba saya tanyakan “
Tanpa menunggu jawaban si sakit yang sudah puyeng menahan sakit, si wanoro beruang mendekati yang sedang bertarung. Keempatnya sudah kelelahan, bilur2, luka2, dan kehabisan nafas.
“ Sebentar kisanak, saya interupsi sebentar. Siapa gerangan anda berdua dan jika memang utusan, apa perintahnya ? “
Mendapat kesempatan beristirahat, dengan lega Romo berkata “
“ Aku Romowijoyo bin Dosoroto van Ayudyo dan itu adikku kinasih Raden Lesmono. Kamu Siapa ? “
“ Saya Kapi Jembawan dan yang berwarna putih itu Kapi Anoman. Yang biru Kapi Anilo. Yang sedang sakit itu prabu Sugriwo mantan raja Poncowati. Kalau bukan utusan Resi Subali, abang kandung Prabu Sugriwo, apa maksud anda ? “
“ Sudah saya bilang tadi, saya mencari istriku yang hilang di rimba Dandoko. Jika anda menemukan, saya bersedia mengganti dengan hadiah yang besar. Garwaku namanya Dewi Sinto. Apakah ia ada disini ? “
“ Wo, begitu, to. Monggo, silahkan istirahat dulu. Kita bicarakan baik2.
Kapi Jembawan memberi kode kepada Anoman dan Anilo untuk menghentikan pertarungan. Keempat pihak yang sedang bertarung menarik nafas lega. Semuanya nyaris putus asa menemui musuh yang terlalu sulit dikalahkan.
“ Silahkan masuk tenda, mandi2 dulu, istirahat dan nanti kita bantu mencari sisihan anda “
“ Apakah Sinto tidak disini ? “
“ Tidak, tetapi jika anda mau memeriksa silahkan. Saya antarkan inspeksi ke seluruh gunung Reksomuko ini “
“ Mengapa tiba2 kami diserang ?
“ Itulah, harap maklum, Prabu Sugriwo sedang gerah penggalihnya karena habis dihajar abang kandungnya, Resi Subali. “
“ Dihajar ? “
“ Ceritanya panjang, silahkan istirahat dulu. Apa sebabnya anda menduga kami yang menculik istri anda ? “
“ Ada informasi bahwa Sinto bersama atau di tempat dengan wono … r “
“ Wono r ? Belum tentu wanoro. Mungkin Wonoboyo ? “
“ Hus, Kia Ageng Mangir Wonoboyo belum lahir. “
“ Ah, saya tahu ! Pak Wono ! “
“ Pak Wono siapa ? “
“ Pak Buwono, Sultan Hamengku Buwono ! “
“ Hus, ngawur ! “
Seharian Lesmono menyisir gunung Reksomuko diantarkan oleh Kapi Anilo dan akirnya kedua satria itu percaya bahwa Sinto tidak disitu.
“ Apa nama tempat ini, Kapi Jembawan ? “
“ Ini gunung Reksomuko. Tempat kami bergerilya. “
“ Mengapa harus bergerilya ? “
“ Nah, mari kita mulai cerita panjang itu. Silahkan duduk yang nyaman. Dulu saya dan kawan saya Kapi Mendo yang sekarang mengabdi kepada Resi Subali adalah cantrik2 padepokan Grasino. “
Kapi Jembawan mulai bercerita ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar