Jumat, 09 November 2012

Parwo Alengko Purwo

Ramayana – III. Parwo Alengko Purwo

III. Parwo Alengko Purwo

 Bilahi Birahi di Girijembangan
Syahdan, jaman dulu sekali di pulau Srilangka ada beberapa negara kecil2. Seringkali negara2 kecil tersebut saling berperang memperebutkan wilayah. Diantara negara2 tersebut ada negara kecil Alengko dengan Rajanya Prabu Somali. Putri sulung bernama Dewi Sukaesi telah menginjak remaja dan sudah saatnya menikah. Raja Danarjo dari kerajaan Lokapala yang juga di pulau Srilangka tertarik dengan Dewi Sukesi. Kehendak Sang Prabu dilambari motif politis. Ia ingin Alengko dimerger dengan Lokapala.

Dewi Sukesi yang hanya sedikit lebih ayu dari Omah atau Yati Pèsèk punya syarat, ia mau dinikahi asalkan diajari ilmu Sastro Jendro Yuningrat Pangruwating Diyu. Sebuah ilmu yang wingit & pelik. Untungnya Prabu Danarjo anak begawan Dr. Wisrowo yang profesor emeritus kesusastraan dan rektor dari Universitas Girijembangan. Segera dipersilahkannya Woro Sukesi untuk mengikuti kuliah Bopo wiku. Karena anak Raja, Sukesi mendapat keistimewaan kuliah khusus sendiri.
Sebenarnya nilai Sukesi pas2an, kebanyakan C, beberapa C+, dan ada yang C-. selain kuliah Sastro Jendro yang jadi kuliah pokok, Woro Sukesi juga diizinkan kuliah minor. Boleh Fisika Quantum, Kimia, Geografi, dll. Karena kuliah sudah masuk semester III, Sukesi diizinkan masuk ke perpustakaan pribadi Sang Resi. Semua naskah diperbolehkan dipelajari kecuali sebuah kitab yang diberi warna biru. Buku sakral ini bukan untuk perjaka & perawan. Sebagai mahasiswi yang patuh, Sukesi tidak pernah berupaya mempelajari buku tersebut.
Pada suatu malam yang kelam Sang Resi berkenan memberikan kuliah minor. Dititahkannya Sukesi mencari textbook diperpustakaan pribadinya, apa saja yang ingin dipelajarinya. Waktu itu hujan dan banyak angin. Suasananya kekes, mendung dan mulai gerimis. Dengan takut2, Woro Sukesi ke perpustakaan yang terletak jauh dari ruang kuliah pribadi. Ketika sampai diperpustakaan, Hyang Bayu – dewa angin – berkelebat dan pet dian perpustakaan mati. Diluar angin mendesis, gerimis makin deras. Ter-gesa2 Sukesi yang dasarnya penakut sekenanya mengambil sebuah buku. Kemudian ia ber-lari2 kecil kembali ke ruang kuliah pribadi. Takut kehujanan.
Wiku Wisrowo dengan telaten dan penuh kesabaran mengajari Sukesi yang IQnya pas2an. Diluar hujan dan hawa terasa adem. Didalam ruang belajar dian berkebat kebit kena angin. Terpaksa mereka duduk berdempetan agar bisa membaca kitab itu dengan lebih baik. Entah apa yang terjadi, kedua insan yang umurnya terpaut jauh tiba2 menjadi ber-debar2. Nafas menjadi sesak. Buku apa ini, wingit betul ? Embuh, kedua insan itu seolah tidak siuman meneruskan pelajaran dengan lebih nggethu.
Malam makin larut dan kedua insan itu makin asyik. Mereka merasakan sebagian badannya kruget2 abuh (bengkak) padahal tidak ada tawon kemliwat. Ketika sampai tahap ‘praktikum’, nafas makin ter-sengal2 ! Wé ladhalah …..
Sensor …. sensor …. sensor ….
Begitulah kedua insan itu terhanyut meneruskan ‘praktikum’ sampai posisi2 akrobatik. Sampai2 Bopo Resi jatuh krengkangan. Lha, wis kèwut, jé. ‘Praktikum’ dilakukan ber-ulang2 semalaman sampai keduanya kotos2 mandi keringat.
Sensor …. sensor …. sensor ….
Keesokan paginya, guru-murid itu teler kelelahan saling berpelukan dalam keadaan nglegeno (bugil). Betapa kagetnya dua insan itu. Apa yang telah terjadi semalaman ? Blaik, …. ternyata buku yang dipelajari tadi adalah KAMASUTRA atau Kamasaru ! Karena mempelajari Sastro Jendro Yuningrat Pangruwating Diyu, kedua insan itu menemui bilahi (petaka) jadi birahi. Wah, wis kebacut ! Bablaské sisan, pénak jé ! Gara2 Bilahi Birahi, kuliah Sukaesi tersendat karena buntang bunting terus, sampai anaknya enam. Bukannya mendapatkan izasah, malah anaknya pating jredhul.
Dalam Pedalangan, anak2 Sukaesi disebut Komosalah. Dalam versi ini bukan komosalah tetapi komokleru sebab kliru ambil buku saru ! Versi ini bukan versi Srilanka tetapi versi Jln. Paris – Parangtritis dari seorang kawan yang suka glanyongan. Versi Srilangka menyebutkan bahwa Rahwono adalah keturunan Resi Termasyur. Lupa namanya.
Episode-19
Kebo ditanduk gudel
Bukan alang kepalang marahnya Prabu Donopati ketika mengetahui bahwa calon bininya bunting karena dikeloni bapaknya sendiri. Dengan berang Sang Prabu melabrak ayahnya yang trondholo di Universitas Girijembangan. Jedher ! Pintu kantor rektor ditendangnya dengan sekuat tenaga.
“ Bopo wiku, sampéyan ini bagaimana, sih ? Katanya kuliah sastra kok malah muridnya dikeloni ? “
“ Sareh, ngger, silahkan duduk …. “
“ Sudah, nggak usah basa basi, … biar saya berdiri saja, … kok malah nyinau yang saru2 itu pripun, Bopo Resi ? “
“ Lha, aku sendiri samasekali tidak nggraito apa2. … aku kira sedang belajar anatomi bagian sarap2 sensitip … jebul malah kena bilahi … eh kleru … kena birahi “
“ mesthinya sampéyan ini mbok nyebut to, wong sudah kèwut (sepuh). Harusnya berdoa di sanggar pamujan di senjakala usia, menunggu kedatangan Sang Hyang Yomodipati. Kok malah … “
“ Umur itu dumunung dalam pikiran, ngger. Kalau kita berpikir masih muda maka kita akan serasa masih muda. Kalau kita masih merasa going strong, tidak ada yang bisa ngaru biru. Kulawik, anak Prabu, yang harus sering ke sanggar pamujan bukan yang kèwut2 tetapi justru yang masih muda2 … “
“ Bopo wiku, saya ini sedang marah. Saya kesini bukan untuk kuliah … cewek yang masih belasan tahun kok sampéyan keloni itu rak tidak etis to, kanjeng Resi ? Maksud saya, biar saya peram, kok malah sampéan brakoti dhéwé. “
“ aku terima salah anak Prabu. Tetapi ketauilah bahwa yang namanya cinta itu buta. Tidak memandang usia. Bisa saja aku yang sudah kèwut jatuh cinta dengan ABG .. “
“ sudah, sudah, sudah, … saya tidak butuh wejangan, terus anak2 haram itu piyé … ? “
“ hus ! Tidak ada yang namanya anak haram. Yang ada ortu haram jadah seperti ané. “
“ Mesthinya anak polah Bopo kepradah atau anak bertingkah bapak lintang pukang. Ini kok kulawik. Bopo polah anak kepradah – babe macem2, anak jadi heboh “
“ Ho’ oh, ya …. “
“ wis, wis, wis, …. tak tigas janggamu ! “
Dengan sepenuh tenaga ditikamkannya senjatanya ke Resi Wisrowo namun sampai berulangkali tetap tidak bisa melukai. Lama kelamaan Sang Prabu Donopati kelelahan sendiri. Donopati merasa sangat malu dengan perilaku ayahnya yang malah ngeloni calon menantunya. Tetapi ia tidak berdaya, wiku Wisrowo terlalu sakti, ia tidak bisa bahkan hanya untuk melukai ayahnya. Akhirnya Donopati putus asa dan ia minta ayahnya membunuhnya karena ia tidak tahan dirundung malu punya ayah seperti itu. Tentu saja Sang Begawan menolak membunuh putranya. Saking marahnya, Prabu Donopati mem-bentur2kan kepalanya ketembok sampai ber-darah2.
Begawan Wisrowo serba salah. Disatu sisi ia sangat mencintai bini mudanya dan ingin mengecap madunya hidup dengan kembang yang sedang mekar itu. Disisi lain ia adalah pendhito yang seharusnya malu bersikap seperti itu. Ia juga sedih melihat betapa anaknya yang dikasihinya hancur mentalnya. Akhirnya, pupus sudah hati Sang wiku. Ia iklas melepaskan kehidupan sorgawinya dengan bini mudanya. Ia iklas menebus kesalahannya dengan ajalnya. Dengan tenang dicopotnya rompi kebalnya, yang dibelinya di Toko Ramai Ngalioboro. Ia sekarang tidak lagi digdoyo. Kemudian Sang wiku membentak putranya
“ Bocah gembèng ! Begitu saja nangis kayak anak kecil. Itu bukan sikap Raja. Memalukan sekali ! Akupun malu punya anak seperti itu ! Anak gembus ! Ayo, gunakan senjatamu … bunuhlah aku … kalau bisa ! “
Ditantang seperti itu, kemarahan Donopati meledak lagi. Dengan sekuat tenaga ditusukkannya kerisnya ke dada ayahnya. Blesss, keris menancap telak didada sepuh wiku Wisrowo. Pabu Donopati terpekur memandang jenasah ayahnya. Ia tidak menduga kejadiannya akan seperti itu. Semula ia hanya berniat meledakkan kemarahan dan sama sekali tidak ada keinginan membunuh ayahnya. Tetapi semua berlangsung begitu cepat dan diluar dugaannya. Yang tersisa adalah getun …..
Episode-20
Rahwono yang Perkasa.
Dewi Woro Sukesi punya 6 anak dalam versi Srilangka tetapi saya lupa namanya yang dua, dan peranannya tidak penting. Anak yang paling sulung diberi nama Rahwono, kemudian Kumbokarno, Sarpokenoko dan Wibisono. Sejak meninggalnya suaminya, Woro Sukesi tidak pernah menikah lagi. Janda ini beserta anak2nya dirawat eyangnya, mbah Soma(li) dikraton Alengko dan dimomong oom Prahasto, adik Sukesi. Keempat putra-putri tersebut walau disebut komosalah dalam pedalangan hidup dalam limpahan kasih sayang dan mukti wibowo. Eyang mana sih, yang tidak suka dengan cucu2 yang lucu2 ? Juga dari oom Prahasto bahkan kakak tirinya Prabu Danarjo.
Ketika menanjak dewasa, sosok keempat anak muda tersebut mulai nampak. Gambarannya tidak terpaut banyak dengan pedalangan. Bedanya akan muncul nanti pada ujung cerita, Brubuh Alengko. Rahwono brangasan, pemarah, suka membentak bentak. Sikapnya jauh dari santun, urakan malah. Tidak bisa terinjak bayang2nya. Tidak mau diungkuli. Keras kepala, sulit diajak kompromi, galak, tidak suka dibantah, dan otoriter. Mentalnya mental juara.

Sejak kecil ia sudah menunjukkan sosoknya sebagai gladiator. Ia suka bertarung dan tidak suka kalah. Ia punya naluri membunuh, bersaing dan menaklukkan. Ia predator, lahir untuk memangsa. Ia sangat pemberani, sugih kendel bondho wani, nyaris tidak ada yang ditakutinya. Dewapun jika dilabraknya pasti lari ter-birit2. ‘Seperti macan’ tidak cukup untuk menggambarkan jati dirinya. Ia seperti Tyranosaurus-Rex yang buas. Kemauannya sangat keras dan ia sangat cerdas. Ia pelajar yang sangat gentur belajarnya, terutama bidang militer. Ia sangat berbakat sebagai senopati ing Alogo, panglima perang, atau Generalissimo. Segala macam akademi militer dimasukinya dan ia selalu lulus dengan predikat magna cumlaude.
Gaya hidupnya flamboyan. Ia tidak trimo ing pandum. Suka hura2, poya2, bujono ondrowino. Ia murah hati, nyah nyoh. Ia mencintai keluarganya, ia sangat sayang terhadap adik2nya terutama si bungsu Radèn Wibisono. Tetapi, terhadap musuhnya, ia tidak kenal ampun. Ia hormat terhadap mbah Soma dan oom Prahasto. Ia bukan play-boyo. Walau Raja ia hanya punya istri tunggal, Dewi Mandori (Tari ?) ia sangat memperhatikan jendral2nya. Ia disukai dan dicintai jendral2nya.
Ia Raja religius. Tidak jelas agamanya apa (Siva ?). Terkadang berpakaian kependetaan tetapi lebih sering menyandang ageman perang. Ia sangat menghormati dan patuh terhadap guru2nya.
Anak kedua, buto klentrang klentreng, Dityo Kumbokarno di kasatrian Pangleburgongso. Tubuhnya tambun luar biasa besar. Hobinya makan, angop, bobok, bangun, mangan manèh. Kerjaannya hanya klentrang klentreng sambil rengeng2 disepanjang Malioboro. Ia Yakso lumuh – pemalas dan sedikit terbelakang. Tetapi jika kurdo (ngamuk), gunungpun digasaknya. Raksasa lugu dan tampak dungu ini patuh dengan kakang masnya. Sosoknya akan muncul lebih jelas di episode Rahwono Koplo dan Brubuh Alengko.
Anak ketiga, Sarpokenoko sebagai orang kepercayaan kakandanya. Ia menjabat sebagai menko polkam. Ia genit, dandanannya menor dan suaminya banyak. Namun demikian, ia prajurit wanita yang tangguh. Ada versi lain mengatakan sebaliknya, ia cantik dan santun.
Anak bungsu adalah mas Gun(awan Wibisono), anak mami. Semua orang menyayangi si bungsu manja ini. Tingkahnya sangat santun. Mas Gun yang kutu buku sangat dicintai prabu Rahwono. Ia tidak punya kesaktian apapun karena pada dasarnya ia tidak menyukai kekerasan. Ia adalah administrator par excellence. Diplomat ulung dan negotiator tangguh. Ia punya strategic mind. Sosok dirinya akan tampak jelas di episode Wibisonogate.

Bersambung ke episode 21 : Sesaji Rojosuyo
Walau masih sangat belia, Rahwono memenuhi syarat sebagai Raja di Alengko menggantikan mbah Soma yang sudah kèwut. Oom Prahasto dengan telaten membimbing keponakannya. Rahwono juga keturunan swargi Resi Wisrowo yang mantan Raja Lokapala. Dengan demikian ia juga punya hak menjadi Raja di Lokapala. Namun kakak tirinya, prabu Donopati punya rencana lain. Ia mau putranya sendiri yang madheg Raja di Lokapala. Semula, tujuan politis Donopati meminang Sukesi adalah pinangan politis untuk membuat aliansi strategis Alengko-Lokapala. Rencana ini berantakan karena bilahi birahi, salah comot buku saru.
Rahwono mengutus oom Prahasto supaya tujuan awal aliansi 2 negara diteruskan dengan mengajukan dirinya sebagai Raja dikedua negara. Donopati menampik usulan ini. Ketika jalan negosiasi macet, jalan pedanglah yang dipakai. Terjadilah banjir darah perang antara kedua negara. Prabu Donopati kalah, terbunuh oleh adik tirinya yang muda belia. Semenjak Donopati praloyo, kedua negara digabung. Rahwono kemudian melakukan militerisasi dikedua negara. Alengko menjadi negara facist. Akademi2 militer didirikan. Empu2 pembuat senjata direkrut. Satu demi satu negara2 disekitar pulau Srilanga ditaklukkan. Akhirnya Rahwono berhasil mempersatukan seluruh Srilangka dan Alengko yang semula negara kecil telah menjadi superpower.
Rahwono dinobatkan sebagai Maharaj atau King of Kings dalam sebuah upacara sesaji Rojosuyo. Tarian Tayungan, the dance of victory, diadakan siang dan malam. Sejak itu, Alengko menjadi negara agresor dengan melakukan invasi2 militer ke India selatan yang berdekatan dengan pulau Srilangka. Alengko menjadi suatu emperium dengan jajahan2 dn koloni2nya disepanjang India selatan.
Seperti Temujin, yang kemudian bergelar Jengis Khan, menyatukan Mongolia dan kemudian mendirikan kekasiaran Mongol. Membentang dari China sampai ke Timur Tengah meluluhlantakkan kesultanan2 di Timur Tengah. Seperti kekaisaran Romawi yang membentang sampai ke Inggris Raya. Seperti Alexander yang Agung dari negara kecil Macedonia terentang dari kepulauan Yunani sampai ke Pakistan. Seperti Attila the Hun, Caesar, Charles sang penakluk, dan sejenisnya.
Rahwono mabuk kemenangan dan menjadi megalomania. Terlalu percaya diri, menjadi jumowo, adigang adigung adiguno. Empero Alengko menjadi luar biasa kaya raya karena menerima upeti dari negara2 jajahannya. Kekuatan militer Alengko menjadi mesin perang yang brutal dan ditakuti. Melibas negara2 kecil di India Selatan yang mayoritas wangsa non Arya.
Pada masa ini, Alengko mengalami jaman keemasan. Jajahannya banyak dan menjadi kaya raya. Rahwono di puja2 sebagai bapak bangsa yang menyatukan seluruh Srilangka. Kraton yang megah dan candi2 monumental didirikan pada masa ini. Infrastructur, jalan, irigasi, pelabuhan2, dll dibuat pada jaman keemasan ini.
Diatas langit ada langit mencit dan dibawah jurang ada jurang jero. Expansi Empero Alengko tertahan ketika mencoba menginvasi ke India utara yang dikuasai wangsa Arya. Di Utara Timur ia dihadang Resi Subali, wanoro sakti mondroguno. Rahwono gagal menginvasi Poncowati bahkan keok oleh Resi Subali. Oom Prahasto sampai nangis2 minta pengampunan agar Rahwono tidak dibunuh. Beruntung Rahwono tidak terbunuh malahan diangkat murid oleh Resi Subali.
Di ujung lain balatentara Empero Alengkodirojo kalah telak, ambyar dihancurkan oleh wangsa Arya dengan Rajanya Arjuno Sosrobahu von Maospati. Inilah titik balik sejarah Alengko. Alengko sempat jatuh dan beberapa sat menjadi jajahan Maospati. Kisah ini akan kita buka kembali di episode Rahwono Koplo.
Secara singkat, pasang surut Alengko, mengalami fase2 sbb :
Alengko negara kecil dengan Rajanya prabu Somali
Lokapala bedhah, menjadi bagian dari Alengko
Rahwono menyatukan Srilangka, Alengko menjadi sebuah emperium
Empero Alengko melabrak India Selatan
Jaman Keemasan Alengko
Alengko jatuh dan dijajah wangsa Arya, Prabu Arjuno Sosrobahu. Wibisono dijadikan raja boneka Maospati.
Arjuno Sosrobahu terbunuh ronin, Alengko lepas dari penjajahan tetapi Alengko kehilangan jajahan2nya yang dulu.
Alengko menjadi negara damai – Rahwono ketemu Sinto
Perebutan kekuasan antara Indrajid bin Dosomuko vs oom Wibisono. Alengko retak didalam.
Kasus Wibisonogate : pengkhianatan G30S, eh … Wibisono.
Brubuh Alengko – Alengko diluluh lantakkan pasukan Poncowati.
Perang Saudara (Civil War) di Alengko, Wibisono vs keturunan Rahwono.
Alengko Binangun. Oom Wibi membangun kembali Alengko yang porak poranda.
Sejak ketemu Sinto, kebuasan dan kebrutalan Rahwono turun jauh. Ia adalah mantan penyamun. Seperti Markus Anthonius yang ‘dilemahkan’ Cleopatra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar