Rabu, 12 September 2012

Gandamana Gugur

Kidung Malam (84) Gandamana Gugur

Gandamana meninggalkan semuanya termasuk jabatan Patih. Tidak adal lagi kegetiran, ia beristirahat dalam damai abadi (gmbr: herjaka HS)
Gandamana mengeluh lirih. Pusaka pancanaka yang berujud kuku dengan lembut telah melesak di dadanya. Benarlah apa yang diduga sebelumnya bahwa seorang berpakaian brahmana yang menjadi lawannya adalah Bima, salah seorang trah Bayu yang mempunyai pusaka andalan pancanaka. Gandamana telah terluka, namun tidak ada rasa sakit di tubuhnya. Ia masih mencoba untuk berdiri gagah dan tegar, namun usahanya tidak berhasil bahkan badannya yang tegap mulai menjadi lunglai. Pandangannya menjadi redup dan kabur. Ia merangkul Bima agar tidak jatuh terjerembab. Bima menyambutnya dengan keharuan. Ada banyak kesamaan diantara keduanya. Bima dan Gandamana adalah orang yang berwatak jujur, prasaja sederhana apa adanya dan mempunyai ketulusan dalam menjalankan tugas.

Oleh karena pengabdiannya yang tulus, Gandamana tidak merasa sakit di hatinya juga di sakit di tubuhnya ketika Kuku Bima melesak di dadanya dalam perang tanding sayembara. Ketulusan hati Gandamana itulah yang membuat cara memandang sebuah kematian pada saat menjalankan tugas negara berbeda dengan cara padang pada umumnya. Bagi Gandamana mati dalam tugas di medan laga adalah indah dan mulia. Indah karena ia telah menyelesaiakan tugasnya dengan baik dan sempurna. Mulia karena ia gugur pada saat menjalankan tugas. Kematian seperti yang dialami Gandamana juga dirasa merupakan pembebasan dari kegetiran yang selama ini menerpa hidup Gandamana, berkaitan dengan jabatan Patih.
Demikian pulalah Bima. dengan tulus ia menjalani tugas yang diberikan oleh eyang Begawan Abiyasa untuk mengikuti sayembara di Pancalaradya demi kakaknya Puntadewa. Jika sayembara dalam hal memanah yang ditugaskan untuk maju adalah Arjuna. Sedangkan jika sayembara berupa perang tanding maka Bima lah yang ditugaskan untuk mengikuti sayembara. Maka ketika sayembara yang semula diadakan adalah sayembara memanah dan kemudian diteruskan dengan sayembara perang tanding maka Bima lah yang bertugas naik ke panggung sayembara berhadapan melawan Gandamana eyangnya.
Sebagai seorang ksatria dalam arena perang tanding menang adalah merupakan pilihan. Dan Bima berhasil memenangkannya, dengan melesakkan pancanaka di dada Gandamana. Tidak ada sakit hati dan kebencian di sana. Yang terjadi adalah ketulusan dalam menjalanan tugas. Walaupun pada akhirnya keduanya mendapatkan hasil yang berbeda, Gandamana dan Bima telah menyelesaikan tugasnya dengan tuntas. Keduanya adalah pahlawan. Bima menjadi pahlawan dikarenakan telah memenangkan peperangan. Sedangkan Gandamana menjadi pahlawan karena ia gugur dalam tugasnya di medan perang.
Bima mendekap erat tubuh Gandamana yang mulai dingin dan lemas. Dengan tenaga yang masih tersisa Gandamana mencoba menyambut hangat dekapan Bima. Bima meneteskan air mata. Dengan terbata-bata Bima berkata “maafkan aku Eyang, maafkan.” Gandamana mengangguk-angguk. Tangannya bergetar lemah membelai kepala Bima untuk yang terakhir kali. Bibirnya mengulum senyum tipis tanda kebanggaan atas sebuah pribadi yang jujur, berani, teguh, tangguh dan tulus yang dimiliki oleh Bima cucunya.
Berada dalam pelukan Bima, Gandamana merasa tenang dan tentram untuk mengakhiri pengabdiannya, bahkan untuk mengakhiri hidupnya. Bima memperkokoh posisi kakinya agar kuat menyangga tubuh Gandamana yang semakin berat. Kesadaran Gandamana berangsur-angsur surut seiring dengan melemahnya detak jantung dan melambatnya aliran darah. Namun pada sisa kesadaran yang paling akhir Gandamana berniat melepaskan dua aji andalannya yaitu wungkal bener dan bandung bandawasa dan mewariskannya kepada Bima. Gandamana percaya bahwa Bima dapat menggunakan kedua ilmu sakti tersebut untuk memayu-hayuning bawana.
Panggung sayembara hening. Demikian pula lautan manusia yang berada di alun-alun Pancalaradya. Semuanya diam. Bahkan angin pun berhenti bertiup untuk sesaat. Semua memberi penghormatan terakhir kepada Gandamana sang pahlawan Pancalaradya.
Bersamaan berhentinya nafas Gandamana, matanya menutup untuk selamanya. Tidak ada tugas lagi yang diembannya. Ia beritirahat dalam damai
Ana tangis
rayung-rayung
tangise wong wedi mati
gedhongana
kuncenana
wong mati mangsa wurunga.
Ada tangis
mengharukan
tangisnya orang yang takut mati
walaupun di masukan di gedung
dan dikunci
orang mati tidak mungkin dibatalkan
Gandamana telah mati. Gugur di medan laga. Namun semangat pengabdiannya, keberanian dan kejujuran serta ketulusan hatinya juga kesaktiannya telah diwarisi oleh Bima orang nomor dua dari Pandawa Lima, anak Prabu Panndudewanata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar