Senin, 17 September 2012

wayang lindur

Cinta Bertunas di Pangkal Nagasari

Seluruh hal di madyaloka punya pengapesan. Bulan Rejeb Tahun Saka 1943, Belanda apes pada si Spanyol Andres Iniesta di final Piala Dunia menit ke-116. Dulu Belanda apesnya ke Pak Sakerah dengan clurit sakti Se Lerok. Tapi ayah Brodin ini juga punya pengapesan, Mbok Sakerah. Pak SBY dan Ibu Sri Mulyani juga punya nahas. Dalam dugaan skandal Century yang terlupakan itu pengapesan mereka mungkin Pak Ical.

Rahwana juga punya pengapesan kok.
Raja Diraja Alengka itu berkuasa dan ditakuti. Kakak tirinya sendiri yang kondang sakti, Prabu Danapati, Raja Lokapala, dibunuhnya pula. Tetap saja Rahwana punya pengapesan. Ayah Indrajit ini salah tingkah berbaur malu setiap menghadapi keponakannya sendiri, seorang perempuan yang ranum di dada dan menawan alisnya.
Dari pohon nagasari di taman Dewi Sinta ditawan, Raden Senggono alias Hanuman mengintip raja penyamun Rahwana main rayuan. Istri Prabu Ramawijaya dari Ayodya itu dicumbunya dengan berbagai nada-nada purba dan syair cinta. Aneka bebungaan ibaratnya telah ditumplek blek di seputar Sinta sampai wanginya semerbak meluap jauh ke luar taman. Begitu ada perempuan yang diintip Hanuman muncul menyajikan hidangan buat Dewi Sinta. Rahwana wajahnya kemerahan, sadar usia, nglentruk meninggalkan Taman Argasoka.
Senggono bahkan sempat mengintip perempuan yang ditakuti Rahwana itu berdebat. Bibirnya yang tipis dan merekah bergetar. Bahkan dari sela dedaunan nagasari Senggono juga sempat mengintai perempuan bermata binar itu memaki-maki Rahwana alias Dasamuka. Dasamuka dihina-dina sebagai lelaki yang bukan saja punya rekening babi, tetapi juga punya tindak-tanduk tak ubahnya babi. Dan bagaimana daya magnit bertambah tatkala mata perempuan itu mendelik, parasnya merah padam dengan kernyitan kening dan perjumpaan kedua alis. Dan Senggono menyaksikan, setelah umpatan-umpatan perempuan itu Rahwana mendadak tunduk, ngacir dari Taman Argasoka.
***
”Juragan kami Rahwana punya empat saudara kandung,” kata ponokawan Togog kepada Prabancana Siwi, nama lain Hanuman. ”Satu-satunya yang ndak rupa raksasa atau diyu ya Raden Goenawan Wibisana. Ejaan lama. Dia malah ganteng. Sifatnya pandita. Nah, orang inilah bapaknya perempuan itu. Alah… itu lho yang Sampeyan dari beduk tengah hari tadi amat-amati sambil ngumpet-ngumpet dan garuk-garuk. Mbok kiro aku ndak tahu? Nama perempuan itu adalah…”
”Hmmm…Di negaramu ini juga ada usaha pembunuhan?” Hanuman nylimur, mengalihkan obrolan. Malulah ia ketahuan kalau mengendap-endap naksir perempuan asing. ”Ada nggak?”
”Ada dong,” sahut ponokawan Bilung. Ia tak merasa sedang dislimur. ”Tapi di Alengka sini orang dibunuh karena ya untuk dimakan. Mereka ndak punya visi misi yang lain. Beta tahu betul. Beta dan Togog kan su mengabdi di sini sejak sebelum zaman Bung Soekarno. Lha namanya raksasa, buto, kalau ndak pi makan orang mau pi mbadog apalagi…Wong su takdirnya.”
”Makanya saya dan si Beta itu awet,” Togog menimpal. ”Kami langgeng di Alengka sini karena dianggap bukan orang, ya syukur. Tapi di mana-mana di triloka yang namanya babu memang ndak direken sebagai orang. Saya ngupang-nguping katanya di Nusantara sudah mulai diatur jam kerja bagi babu-babu di rumah-rumah tangga. Ndak boleh lho sehari-semalam disurah-suruh terus nonstop kayak lampu stopan. Tapi buktinya mana? Mereka prei cuma pas Lebaran…”
”Alah, Mas Monyeeeet, Mas Monyet,” sela Bilung, ”Sampeyan juga aman kok di sini. Pasti awet. Buto maunya cuma pepes orang kok. Mereka ndak doyan bacem munyuk…”
Maksud Hanuman, apa di Alengka juga ada usaha pembunuhan aktivis yang rajin wadul soal rekening gendut para punggawa negeri. Togog dan Bilung saur manuk bergantian membantah. Mereka bilang di Alengka percuma ada usaha coba-coba bunuh orang. Langsung bunuh saja, jadikan bancakan.
Kalau cuma main percobaan pembunuhan aktivis, wah… repot. Nanti calon korbannya malah cuma luka dan leyeh-leyeh di rumah sakit. Nanti Raja Rahwana mau membesuk ke rumah sakit juga serbasalah.
Rakyat Alengka sudah pinter-pinter karena nggak ada yang kelaparan, malah gizinya lebih dari cukup. Mereka juga gak usah terus-terusan mikir kebakaran tabung gas. Jadi mereka masih sempet mikir yang lain. Pasti mereka nanti berpikir, wah junjungan kami membesuk aktivis, mengalihkan perhatian. Nek Rahwana nengok ke rumah sakit, pasti aparat penegak hukum akan kelimpungan mencari siapa calon pembunuh pasien ini. Mereka dan juru warta, tidak akan puyeng lagi pada penyelidikan pemilik rekening babi…
Prabancana Siwi cepat memotong, ”Perempuan tadi juga punya rekening babi?”
Bilung, ”O tidak. Dia bukan babi, eh, bukan punggawa negara. Dorang putri kesayangan Raden Goenawan Wibisana. Ejaan lama. Dorang punya nama Dewi Trijata.”
Nah, ini dia. Hanya info tentang nama ini yang sesungguhnya sejak tadi dinanti-nanti oleh Prabancana Siwi alias Maruti. Obrolan ngalor-ngidul lainnya tidak penting. Maruti alias Pawana Suta sudah eneg ngomong masalah kemasyarakatan. Paling-paling abis itu masyarakat sendiri sudah lupa. Contohnya kasus Century dan lumpur Lapindo. Hmm…Akhirnya… Dewi Trijata to namamu, Diajeng… Nama yang syahdu.
***
Ponokawan Togog sebagai kakak Semar dan stafnya, Bilung, berada di Alengka punya tugas seperti LSM yang bener. Laksana LSM yang belum keblinger, tugas mereka mengingatkan para pamong praja agar kembali ke sirathalmustaqim. Tanpa kawalan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mulut Togog-Bilung sudah sampai berbusa-busa. Keduanya mohon ke Rahwana agar mengembalikan Putri Mantili, Dewi Sinta. Sekarang mereka senang sekali memergoki Hanuman, duta Prabu Ramawijaya. Mereka berharap Dewi Sinta segera balik.
Kedua ponokawan itu lantas meninggalkan Hanuman di pohon nagasari seraya mengucapkan selamat bertugas sebagai duta. Tak lama kemudian, aduh, Hanuman melihat di kejauhan Dewi Trijata dengan kain parang rusak warna kapuranta, coklat kekuningan. Selaras betisnya yang kuning langsat. Ia berjalan menyangking timba. Rambutnya dibiarkan berangin-angin sepinggang. Banyak kupu-kupu terbang mengiringinya. Aneka belalang, walang kadung, walang daun, dan walang kayu pun berlompatan suka cita. Mungkin perempuan ayu itu hendak mengambil air buat Dewi Sinta ke sendang nun di bawah sana.
Ketika Dewi Trijata akan melewati pohon nagasari, belum sempat Hanuman bersembunyi, Dewi Trijata sudah keburu memergokinya. Hanuman panik. Ia tak ingin putri Goenawan Wibisana itu ketakutan dikageti monyet asing di Taman Argasoka. Ternyata Hanuman keliru. Dewi Trijata hanya tertegun. Terpana. Lalu putri yang dagunya belah itu mesem. Matanya berkaca-kaca.
Belum pernah Dewi Trijata terpesona menatap laki-laki selucu ini. Seluruh bulunya putih lebih lembut dari salju. Mana matahari senja dari sela-sela cengkeh, kapulaga, dan kayu manis membuat bulu putih kera ini berwarna semu lembayung semu keemasan. Dan mata lelaki ini tulus.
Dewi Trijata pernah diajak terbang oleh ayahnya melanglang di atas gunung-gunung: Gunung Suwela, Windu, Wreksamuka, Mahendra, Maenaka, dan Maliawan. Di bukit-lembah di antara gegunung itu Dewi Trijata melihat gambar-gambar para lelaki di pohon-pohon. Kabarnya untuk pemilukada. Dewi Trijata tak tahu apa itu pemilukada. Tapi bagi sang dewi tak satu pun di antara lelaki pajangan itu yang matanya tulus dan bersih. Berbeda jauh dibanding lelaki salah tingkah yang kini sendeku di hadapannya.
Baru kemarin Hanuman bertemu Dewi Sayempraba, perempuan ramah-tamah yang disangkanya penuh kasih sayang bagai sang ibu, Ratna Anjani. Ternyata putri Prabu Wisamarta itu telik sandi, mata-mata Rahwana. Buah-buahan segar yang disuguhkan Dewi Sayempraba dimanterai aji Kemayan. Anjani Putra jadi buta. Untung di dekat Gunung Suwela itu Anjani Putra ditolong oleh Raja Burung Sempati. Netra sang Anjani Putra kembali pulih sehingga kemudian sanggup ia lihat kecantikan Dewi Trijata dari pohon nagasari.
Ternyata tak setiap wanita cantik berbahaya bagaikan Dewi Sayempraba. Pembelaan-pembelaan Dewi Trijata terhadap Dewi Sinta membuktikan, tak setiap wanita cantik menyembunyikan taring dan cakar dan lendir beracun bagai Dewi Sayempraba.
Benih-benih rasa akan tumbuh di antara Trijata-Anjani Putra. Togog datang bikin kaget. ”Saya tahu Sampeyan kera sakti,” bisik Togog. ”Sampeyan pasti punya aji panglimunan dan panyirepan. Buktinya seluruh raksasa pengawal istana sekarang bleg seg tertidur pulas. Tapi, waduh, aji Sampeyan bocor sampai ke Khatulistiwa. Kasihan nasib rakyat di sana. Produksi beras turun. Harga cabe melangit. Tapi mereka ndak punya pemimpin yang melek. Menteri-menterinya tidur saat sidang kabinet pembagian rapot…” (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar