Togog
Pada giliran pertama Bathara Antaga (Togog) mencoba untuk melakukannya,namun yang terjadi malah mulutnya robek dan jadi dower karena Togog salah menelan gunung yang sedang aktif dan mendadak meletus ketika gunung tersebut berada di dalam rongga mulut Togog. Giliran berikutnya adalah Bathara Ismaya (Semar) yang melakukannya, Gunung Jamurdipa dapat ditelan bulat-bulat tetapi tidak dapat dikeluarkan lagi karena Semar tidak bisa mengunyah akibat giginya taring semua, dan jadilah Semar berperut buncit karena ada gunung didalamnya seperti dapat kita lihat pada karakter Semar dalam wayang kulit. Karena sarana sayembara sudah musnah ditelan Semar maka yang berhak memenangkan sayembara dan diangkat menjadi penguasa kadewatan adalah Sang Hyang Manikmaya atau Bathara Guru, cucu bungsu dari Sang Hyang Wenang.
Adapun Bathara Antaga (Togog) dan Bathara Ismaya (Semar) akhirnya diutus turun ke marcapada (dunia manusia) untuk menjadi penasihat, dan pamong pembisik makna sejati kehidupan dan kebajikan pada manusia, yang pada akhirnya Semar dipilih sebagai pamong untuk para ksatria berwatak baik (Pandawa) dan Togog diutus sebagai pamong untuk para ksatria dengan watak buruk.
wikipedia===
Togog adalah tokoh wayang yang digunakan pada lakon apapun juga di pihak raksasa. Ia sebagai pelopor petunjuk jalan pada waktu raksasa yang diikutinya berjalan ke negeri lain. Pengetahuan Togog dalam hal ini, karena ia menjelajah banyak negeri dengan menghambakan dirinya, dan sebentar kemudian pindah pada majikan yang lain hingga tak mempunyai kesetiaan. Karena itu kelakuan Togog sering diumpamakan pada seseorang yang tidak setia pada pekerjaannya dan sering berganti majikan.
Ia bersahabat dengan Semar dan terhitung lebih tua Togog daripada Semar, maka Semar memanggil Togog dengan sebutan Kang Togok.
Di mana Togog menghamba tentu dipercaya oleh sang majikan untuk memerintah bala tentara yang akan berangkat ke negeri lain. Waktu ia mendapat perintah untuk memberangkatkan bala tentara tersebut, dalang akan mengucapkan kata-kata sebagai berikut:
Tersebutlah lurah Wijayamantri (Togog) telah tiba di tempat para raksasa berkumpul, memerintahkan kepada Klek-engklek Balung atandak untuk bersiap akan berjalan ke negeri Anu, tetapi perintah itu tak didengar, maka naiklah ia ke panggung, memukul barang sebagai pertanda.
Adapun benda yang digunakan ialah genta, keleleng, gubar, beri dan lonceng agung sebesar lumbung. Setelah dipalu dan para raksasa segera bersiap senjata dan kendaraan yang berbentuk senuk, memreng, blegdaba, bihal, badak dan singa yang mengaum dan meraung mendatangkan ketakutan pada banyak orang.
Ucapan Engklek-engklek Balung atandak: Marilah teman berdandanlah, akan pergi ke negeri Anu. Dan kemudian disahuti oleh temannya: Ikut-ikutlah,, yangan ketinggalan perabot kita, tekor tempat darah, pisau pemotong hati.
Sangat riuh suara raksasa itu, setelah berkumpul, suara binatang, kendaraan meraung-sung berbareng dengan suara yang mengendarai meraung juga, terdengar seperti guruh musim ke empat.
Lurah Wijayamantri turun dari panggung, lalu menghadap kepada majikannya. Bragalba bertanya: Sudahkah lurah Wijayamantri mengundang bersiap sejawat raksasa semuanya?.
Wijamantri: Sudah Kyai, sewaktu-waktu berangkat telah bersiap.
Bragalba: Marilah sekalian berangkat pada waktu pagi. Dijawab: Marilah, marilah. Diiring dengan gamelan, ketika gamelan berhenti, Togog, berkata kepada Bilung: Bilung, bagaimanakah ini?. Tadi kata pemimpin saya diangkat sebagai pemimpin, tetapi yangan pula saya dapat memimpin hingga sampai ke negeri yang dituju, sekarang saja selalu terbelakang. Tetapi keduanya lalu menyusul juga.
Rombongan raksasa ini berjumpa dengan duta seorang raja, terjadilah tanya jawab maksud masing-masing dan karena bertentangan maka terjadi peperangan. Hal ini yang disebut perang gagal, yaitu perang yang tak ada hasilnya apa-apa, tidak ada yang mati, keduanya hanya bersimpang jalan.
BENTUK WAYANG
Togog bermata keran (juling), hidung pesek, mulut mrongos (jongang), tak bergigi, kepala botak, rambut hanya sedikit di tengkuk. Bergelang. Kain slobog, (nama batik), berkeris dan berwedung. Togog bersuara besar, cara menyuarakannya dengan suara dalam leher dibesarkan.
Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.
====
Dalam kultur Jawa, utamanya wayang purwa, ada tokoh ponokawan yang bernama Togog. Tokoh Togog ini mudah dikenali karena ada ciri khusus yang melekat pada organ biologisnya yaitu dengan mulut besar (melewati batas kewajaran mulut yang normal). Sebenarnya, nenek moyang dahulu telah memberi peringatan kepada anak cucu (generasi penerus) dengan simbol seperti Togog. Karena itu, Togog dapat dijadikan cermin kehidupan manusia zaman dahulu, sekarang, dan masa depan.
Tokoh ini sebagai pengasuh atau pengawal kesatria yang berkarakter jahat. Oleh karena itu, Togog selalu memberikan kritik dan saran kepada tuannnya untuk meniti jalan yang benar.
Pada umumnya, tokoh yang berkarakter jahat tidak punya hati (perasaan), tidak punya nurani, karena nurani telah mati, penglihatan telah buta, dan pendengaran menjadi tuli. Sementara yang ada dalam hati kesatria yang jahat adalah nafsu untuk berkuasa (politik) dan nafsu menguasai harta kekayaan (ekonomi-kapitalis). Untuk meraih kekuasaan dan sumber ekonomi ditempuh dengan berbagai jalan yang licik dan mengabaikan faktor moral etik. Akibatnya, dalam masyarakat akan terjadi chaos (kacau) banyak perbuatan makar, kenakalan, korupsi, narkotika, kekrasan, penipuan, pembalakan hutan, dan sebagainya. Hal itu disebabkan oleh watak (karakter) tamak, rakus terhadap kekuasaan dan materi, seolah-olah jagat mau diemperi (dunia akan diberi teras).
Karakter yang tidak puas secara politik dan secara ekonomi itulah yang digambarkan seperti Togog yang mempunyai mulut besar untuk menelan jagat (bumi) ini. Ketika Togog terlalu bernafsu menelan jagat seisinya, dia tidak sadar bahwa perilakunya itu adalah perilaku yang tidak wajar dan merugikan banyak orang.
Dengan mengingat tokoh pewayangan yang bernama Togog, ada kemiripan dengan istilah “Thugocracy” yang dipakai oleh Emmanual Subangun (Kompas, 27 Februari, 2010) untuk mendeskripsikan sebuah demokarasi yang bergerak menjadi premanisme, karena di dalam praktik demokrasi meng abaikan moral, etika, dan kesantunan.
Nama tokoh Togog dalam pewayangan Jawa yang sudah berabad-abad lamanya, ada paralenyal dengan kosa kata thogho dalam bahasa Arab. Hal ini terekam dalam azhab ila fir ‘auna innahu thogho; faammaa man thogho (QS, 79: 17, 37). Arti kata thogho adalah melampaui batas. Dalam kitab suci tersebut untuk mendeskripsikan Raja Firaun dan pengikutnya yang memiliki watak jahat suka melampaui batas (thogho).
Dengan demikian, tokoh Togog dalam seni tradsi pewayangan Jawa terdapat cermin atau sebagai kaca brenggala setiap manusia agar perilakunya senantiasa berhati-hati tidak tamak, tidak rakus terhadap kekuasaan dan materi yang dapat berdampak negatif kepada bangsa dan negara. Jika sedang berkuasa jangan sampai berpaling ke arah thugocracy dan thogho (melampaui batas). Jangan sampai di antara kita ada yang menjadi Togog. (Tubiyono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar