Kamis, 28 Juni 2012

Wayang: Kerja, Karya dan Dharma 3


Wayang: Kerja, Karya dan Dharma 3

  

Buto cakil kali pertama diciptakan pada masa Sultan Agung. Sebelumnya tokoh itu tidak ada sama sekali. Biasanya mereka tampil pada adegan perang kem-bang atau perang bambangan. Pada perkem-bangannya dikenal pula Buta Rambut Geni. Konon buta ini adalah representasi londo-londo-manusia kulit berwarna yang datang dan menjadi imprealis di Nusantara (lebih lengkap lih. Sutini, Sejarah Perkembangan Kesenian Wayang, pada www.javapalace.com)

Sementara Punakawan, ia diamini berasal dari Jawa. Pada mitos India tokoh ini sama sekali tidak dikenal. Istilah Semar sendiri diyakini berasal dari bahasa Arab, Ismar yang berarti paku. Itulah kemudian paku orang Jawa itu dijadikan gelar oleh Keraton Surakarta, Pakubuwono (Woodward, 1999: 329). Itulah mengapa Semar seringkali dianggap sebagai representasi Nabi Jawa di luar Dewa. Ia dianggap lebih membumi dan lebih mau tahu dengan perkara Jawa dibanding dengan tokoh-tokoh (impor) lainnya. Semar dikenal juga dengan nama sang Hyang Ismaya. Ia adalah saudara Sang Hyang Manik Maya atau umum disebut Batara Guru. Semar ini juga memiliki saudara yang sifatnya berbanding terbalik dengannya, yakni Sang Hyang Tejamaya alias Tejamantri. Tejamantri atau disebut Togog oleh masyarakat Sunda, terkenal karena sifat menghambanya kepada mereka yang mampu membayar lebih (Tentang kelahiran Togog dan Semar dan mengapa mereka jelek lihat Ensiklopedi Wayang, hal. 238).
Di satu sisi, Orang Jawa sendiri menganggap Semar sebagai guru spiritual Arjuna walaupun ia selalu berseloroh sarkas, tak tahu basa, kasar, pendek, jelek, hitam dan sering kentut-an. Mereka juga mempercayai bahwa Bagong, salah satu anak Semar dilahirkan dari bayangan Semar sendiri. Ketiga anak Semar, Gareng, Bagong dan Petruk adalah pengejawantahan dari masa lalu, masa kini dan masa depan. Dan tidak ada yang melebihi Semar dalam mistitisme Jawa, sekalipun Batara Guru, Raja para Dewa, saudaranya itu. Tetapi walau dipercaya
sebagai guru spiritual Pandawa, pada dasarnya Semar hanyalah abdi, rakyat kebanyakan, pada umumnya petani dan sama sekali bukan bangsawan apalagi berdarah biru.
Kenyataan itu sangatlah paradoks, namun di titik itulah kemanunggalan justru mawujud. Semar pun menjadi esensi dan padanyalah mengerucut segala kebijaksanaan. Semar adalah Dewa tapi ia sekaligus Manusia dan walau manusia ia bukan sekedar manusia. Semar adalah samar dan ia bukan sembarang. Dalam “Semar Mencari Raga”, Sindhunata menganalogikan Semar sebagai pohon Mandira yang tumbuh diantara bulan dan matahari. Semar yang tengah risau karena ia menganggap diri tidak mengetahui dan mengenal dirinya sendiri akhirnya mendapat titah dari Sang Hyang Tunggal untuk mencari raga.
Sebelum keberangkatannya, Sang Hyang Tunggal berkata kepada Semar, “Pohon Mandira itu adalah pohon petang dan terang, pohon itu tidak memisahkan matahari dan bulan, siang dan malam. Maka kau adalah samar, ya Semar. Janganlah kau samar terhadap kegelapan, jangan pula kau samar terhadap terang. Hanya dengan hatimu yang samar, kau dapat melihat kegelapan dan terang, kebaikan dalam kejahatan (…) Wajahmu pucat seperti mayat. Kau bagaikan manusia yang sudah sirna.
Dalam hidupmu Semar, sudah terkandung kematian. Hanya kehidupan yang berani membawa kematian dalam dirinya, kehidupan itulah yang akan berlanjut dengan keabadian (…) Kau adalah dhudha nanang nunung. Dadamu bersusu seperti wanita. Namun kau berkuncung seperti pria. Maka sulitlah memastikan apakah kau lelaki atau wanita. Kau kuat seperti lelaki. Kau subur bagaikan wanita. Kau adalah bapa langit dan ibu bumi. Rupamu jelek, Semar, namun dalam dirimu lelaki dan wanita bersatu. Dalam dirimu, lelaki hidup bukan karena kegagahannya, wanita hidup bukan karena kecantikannya. Dalam dirimu, Semar, lelaki dan wanita hidup dan berada karena cinta. Maka kau, yang jelek, sang dhudha nanang nunung ini juga adalah juga Sang
Asmarasanta. Melihat dirimu, Semar, walau rendah, sudra dan papa, orang akan tertarik akan keutamaan, karena dalam dirimu ada sejatinya cinta lelaki dan wanita” (1996: 10-12).


Begitu pentingnya tokoh ini sampai-sampai pada perkembangannya kemudian Semar dikaitkan dengan wacana kekuatan rakyat, khususnya petani. Stange (1998: 138) mengatakan, “sejak era India, gerakan petani telah mengkristal dengan berbagai harapan bahwa ratu adil yang baru akan muncul untuk memperbaiki tatanan jaman yang kacau dan mengembalikan masyarakat dalam keseimbangan dengan alam”.

Dengan demikian posisi Semar yang menjembatani massa rakyat dengan keraton atau poros kekuasaan memang menjadi ideograph yang penting bagi para milenaris. Condongnya gagasan ‘perebutan kekuasaan’ menjadi daya tarik yang kemudian berusaha di kelola pada masa pasca Indonesia Merdeka. Kasus paling nyata adalah, sebut saja manuver politik yang dilakukan oleh Preseiden kedua RI, Soeharto untuk meng-counter para oposannya. Pada masa awal naiknya, Soeharto melegitimasi kekuasaannya dengan sepenggal surat yang terkenal dengan sebutan Supersemar, Surat Perintah 11 Maret (1966).
Stange sendiri kemudian menafsirkan bahwa Soeharto berusaha memainkan mitos Sabdopalon—sebagai reinkarnasi Semar pada masa akhir berdirinya Majapahit—dan mengutipnya seakan dialah yang memperolah wahyu yang telah dijanjikan sabdopalon itu. Seperti telah dijelaskan, Majapahit memang dianggap sebagai puncak dari pertemuan diri dengan diri. Artinya, orang Jawa merasa disanalah puncak hakikat Jawa berhasil
dimanifestasikan. Dalam cerita Darmogandhul memang dituturkan bahwa setelah kejatuhan Majapahit, jati diri Jawa juga akan sirna bersamaan dengan sirnanya Sabdopalon. Tetapi Sabdopalon mengatakan bahwa akan ada masanya ‘jaman buda’ yaitu jaman ketika seorang Jawa kembali berkuasa dan rakyat Jawa akan menemukan jati dirinya kembali setelah 500 tahun dari saat itu (Lih. Nurul Huda, Tokoh Antagonis Darmo Gandhul: Tragedi Sosial Historis dan Keagamaan di Penghujung Kekuasaan Majapahit. Yogyakarta: Pura Pustaka, 2005).
Bentuk Kesenian wayang pada gilirannya terus mengalami geliat. Bermacam sanggit sampai dengan bentuk pertunjukan baru yang lebih sesuai dengan keadaan masyarakat hari ini terus dikembangkan. Kini, apa atau bagaimanapun bentuknya kita hanya bisa berharap bahwa satu kesenian tradisi ini tidaklah kehilangan nilainya. (catatan ini merupakan bagian dari kajian “Politik Identitas Jawa-Cina”, Cin, 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar