Kamis, 28 Juni 2012

Durgandini


Durgandini

  
Orang-orang memanggilku Durgandini, perempuan berbau amis. Sebutan yang amat merendahkan dan melecehkan sekali. Tapi itulah kenyataan yang terjadi pada diriku. Sejak lahir aku sudah menanggung aib ini.
Meski sebenarnya aku anak seorang raja. Bahkan ayahandaku, Prabu Basuparisara, tak mau menerimaku tinggal di istana. Karena bau amis yang menguar dari tubuhku mengganggu orang-orang sekitar. Kupikir, ini hanya alasan yang dicari-cari. Ayahku tak senang memiliki anak perempuan. Dia lebih senang menerima kehadiran Matsyapati, saudara kembarku, yang kemudian diangkat menjadi raja di kerajaan Wirata.

Sementara aku dikembalikan kepada Dasabala, seorang nelayan miskin yang memeliharaku sejak bayi. Dengan senang hati Dasabala menerimaku dengan penuh kasih sayang. “Sabarlah, anakku yang cantik. Kamu tak perlu bersedih. Nasibmu tak seburuk itu. Percayalah, kelak kamu akan menjadi perempuan yang paling mulia.
Dari rahimmu akan lahir para raja besar!” Aku tahu, bapa Dasabala hanya ingin menghiburku. Bagaimana mungkin perempuan sepertiku bisa menjadi perempuan mulia? Raja mana yang bersedia menikahiku. Para pemuda di kampung saja menjauh bila bertemu denganku. Mereka muntah-muntah bila mencium bau tubuhku yang teramat amis.
Ketika bapa Dasabala semakin tua dan tenaganya tak kuat lagi menjadi tukang perahu penyeberang orang di sungai Yamuna, Aku kemudian menggantikan tugasnya. Seperti sudah kuduga tak banyak orang yang mau memakai perahuku. Hanya mereka yang tak kenal diriku dan orang-orang asing saja yang berkenan memakai jasaku. Aku jadi sangat marah sekali kepada dewa yang telah menghadirkan diriku ke dunia ini.
“Siapa saja yang berhasil menyembuhkanku dari bau amis ini, jika dia seorang laki-laki akan kujadikan sebagai suami. Tak peduli sekalipun orang sudra yang buruk rupa atau miskin kehidupannya. Tapi jika dia seorang perempuan, aku bersedia mengabdi kepadanya dan melayaninya seumur hidup, ” sumpahku. Suatu hari, seorang laki-laki parobaya berjubah putih menghampiri perahuku dan meminta diseberangkan. Tidak seperti penumpangku yang lain, orang ini terlihat tenang saja.
Dia tak menutup hidungnya. Dia malah menatapku dengan sorot kekaguman. “Kenapa Anda memandangku seperti itu?” “Karena aku sangat kagum pada kecantikanmu. Sungguh, baru kali ini aku melihat perempuan secantik dirimu, ”katanya menyanjung. “Anda jangan berbohong. Aku tahu, Anda cuma ingin menutupi rasa jijik Anda mencium bau tubuhku!” ujarku. “Namaku Parasara. Aku seorang resi. Tabu bagiku untuk berkata dusta. ” Aku tertegun.
Ternyata masih ada juga orang yang memuji kecantikanku. Dengan lugu aku kemudian menceritakan tentang nasibku yang amat buruk ini. Tidak kuduga resi itu bersedia menyembuhkan penyakitku. Dengan ilmu kesaktian yang dimilikinya dia lalu menyentuh kulitku. Seperti sebuah keajaiban, tiba-tiba bau busuk yang menguar dari tubuhku lenyap berganti dengan bau harum semerbak. Betapa senang hatiku. Seperti sumpah yang pernah kuucapkan, Aku meminta resi Parasara mengambilku sebagai istri.
Laki-laki itu bersedia menerimaku. Kami lalu menghadap bapa Dasabala untuk meminta restu. Bapa Dasabala meresmikan pernikahan kami. Harihari selanjutnya aku menjalani hidup rumahtangga dengan Parasara. Kami tinggal di rumah kecil di tepi sungai Yamuna dan hidup secara sederhana. Aku cukup bahagia dengan kehidupanku.
Kebahagiaanku makin lengkap ketika lahir buah cinta kami yang diberi nama Byasa. Dia sungguh anak yang cerdas dan luar biasa. Sementara Parasara, suamiku, semakin giat dalam menekuni ilmu kesejatian. Dia kerap pergi dalam waktu lama untuk berguru dan bersemedi di tempat-tempat sunyi. Aku sering merasa kesepian dan hanya bisa memendam kerinduan. Hatiku rasanya tak sanggup menjalani kehidupan seperti ini.
Tapi sebagai seorang perempuan aku tak punya kuasa mengungkapkan hasratku. Tradisi menempatkan istri sebagai abdi dan pelayan suami. Istri tak ubahnya boneka hidup yang hanya diperlukan saat dibutuhkan. Kehidupan seorang istri ada dalam bayang-bayang keegoisan dan kekuasaan suami. Kenyataan ini kemudian membuka kesadaranku bahwa penderitaan batin ternyata lebih menyakitkan dibanding penderitaan fisik.
Sering terpikir dalam benakku, mestikah aku bertahan dengan keadaan seperti ini? Hatiku mulai diliputi kegalauan dan kebimbangan. Perasaan itu mencapai puncaknya ketikasuatuhariPrabuSentanu, raja dari kerajaan Hastinapura datang ke tempatku. Ia merasa penasaran dengan kabar yang beredar bahwa di sekitar sungai Yamuna tercium bau harum semerbak. Ketika tahu bahwa bau harum itu berasal dari tubuhku, dia pun jadi terkesima.
Dengan terus terang dia mengungkapkan kekagumannya dan berniat memperistriku. Dia menemui bapa Dasabala untuk meminta restu. Bapa Dasabala jadi bingung untuk memutuskan, karena aku masih berstatus istri Parasara. Bapa Dasabala lalu meminta waktu untuk berembug denganku. Dengan wajah berbinar-binar bapa Dasabala mengungkapkan maksud kedatangan Prabu Sentanu.
Aku hanya bisa diam termangu. Berbagai perasaan berkecamuk dalam dadaku. Perasaanku makin tak karuan kala bayangan wajah resi Parasara berkelebatan di pelupuk mata. Aku merasa bersalah jika sampai mengkhianatinya. Tapi bila ingat malam-malam dingin yang kulalui, rasa bersalah itu pun memudar. Apalagi saat mendengar kata-kata bapa Dasabala yang merasuk ke dalam relung kalbu.
“Aku tahu perasaanmu, Nak. Kamu masih memikirkan suamimu. Tapi dengan keadaan seperti ini masihkah kamu berharap padanya? Sudah cukup penderitaan yang kamu alami. Inilah saatnya kamu menentukan langkah hidupmu sendiri. Ingat, Nak. Kamu itu masih keturunan raja, dalam tubuhmu mengalir darah biru. Selayaknya kamu menjalani hidup sebagaimana kaum bangsawan.
Kamu harus menjadi perempuan terhormat dan mulia. Kamu tak bisa membiarkan dirimu tenggelam dalam penderitaan dan kemiskinan. Kapan lagi kesempatanmu bisa merubah nasib?”tutur Dasabala. “Tapi, Bapa. Sekalipun aku menjadi istri raja, kedudukanku tak ada bedanya. Aku hanya sekadar boneka dan pelampiasan hasrat suamiku belaka. Apalagi seperti pengakuan Prabu Sentanu, dia telah memiliki seorang putra yang kelak akan menjadi pewaris tahtanya.
Jadi percuma jika aku hanya jadi selir dan anak-anak yang lahir dari rahimku cuma sebagai anak biasa, ”ujarku. “Tenang saja, Anakku. Kamu kan bisa mengajukan syarat kepadanya agar dirimu dijadikan permaisuri dan anak-anak yang lahir dari rahimmu menjadi putra mahkota. Kalau dia tak mau memenuhi permintaanmu, tolak saja lamarannya. Gampang to?” Aku tersenyum.
Gagasan bapa Dasabala cukup masuk akal. Memang inilah kesempatanku untuk bisa merubah nasib. Sejak kecil aku sudah cukup menderita sebagai anak terbuang, ketika dewasa dan berumahtangga kehidupanku tak juga berubah. Kemiskinan dan penderitaan tak lepas dari hidupku. Lalu, aku menemui Prabu Sentanu dan menyatakan kesediaanku menerima lamarannya, seraya mengajukan beberapa syarat, seperti yang tersebut di atas tadi. Prabu Sentanu kaget.
Raut wajahnya mendadak berubah sendu. Dia terlihat bingung dan bimbang. Dia pun meminta waktu untuk memikirkan syarat yang telah kuajukan. Dia lalu permisi pulang. Perasaanku sempat dibuat ciut melihatnya pergi dengan membawa kegalauan hati. Aku khawatir dia akan mengurungkan niatnya memperistriku. Aku jadi menyesal dengan perbuatanku. Tapi kembali bapa Dasabala meyakinkanku bahwa semuanya akan berjalan lancar sesuai rencana.
Dia yakin, Prabu Sentanu akan kembali lagi untuk memberikan jawaban atas syarat yang kuajukan. Apa yang dikatakan bapa Dasabala benar. Beberapa hari kemudian datang utusan Prabu Sentanu menyampaikan keinginan raja untuk memperistiriku. Hatiku senang bukan kepalang. Aku sudah bersiap untuk berangkat memenuhi permintaan sang raja. Namun, bapa Dasabala menahan.
“Kamu jangan terbawa oleh perasaan senang dulu. Jawaban Prabu Sentanu belum menjadi jaminan bagi masa depanmu dan anak keturunanmu, ”ujarnya. “Maksud Bapa?” tanyaku tak mengerti. “Ingat, Nak. Yang memberikan jawaban adalah Prabu Sentanu bukan Dewabrata, putranya. Padahal yang kelak menentukan nasibmu dan anak keturunanmu adalah Dewabrata. Bagaimana jika kelak Prabu Sentanu telah tiada dan Dewabrata mengambil alih kedudukannya.
Bisa saja dia berdalih tak mengetahui perjanjian antara ayahnya dengan dirimu. Karenanya untuk lebih meyakinkan lagi, mintalah Dewabrata yang datang ke sini menjemputmu dan bersumpah di hadapanmu tidak akan mengambil alih tahta kerajaan Hastinapura. Aku tercekat. Tak kukira bapa Dasabala berhasrat besar menjadikanku perempuan paling terhormat. Aku tak cukup hanya menjadi permaisuri, tapi juga sosok yang berpengaruh terhadap nasib dan masa depan sebuah kerajaan.
Ini sungguh ambisi yang sangat luar biasa besarnya. Hatiku sampai merinding membayangkannya. Tapi benar juga, seperti dikatakan bapa Dasbala, bahwa hanya manusia yang punya ambisi bisa menentukan masa depannya. Pengalaman hidup mengajarku. Ketika aku hanya pasrah menerima nasib sebagai anak terbuang dan menjadi istri seorang resi miskin, kehidupanku tak banyak berubah.
Bagaimana aku bisa menggapai cita-cita menjadi perempuan terhormat bila tak ada ambisi dalam diriku. Dengan ambisilah aku bisa mewujudkan semua impian. Gairah dalam dadaku tiba-tiba meletup bagai magma gunung Himalaya. Aku tak mau selamanya menjadi orang miskin dan tak punya arti apa-apa. Maka, dengan penuh ketegasan aku menyuruh utusan Prabu Sentanu untuk pulang dan menyampaikan apa yang menjadi keinginanku. Kali ini aku tak menyimpan lagi rasa was-was bilamana permintaanku ditolak.
Beberapa hari kemudian Dewabrata datang menemuiku dengan membawa kereta kencana. Dia berniat menjemputku, seperti permintaan yang pernah kuajukan. Bahkan sambil berlutut di hadapanku diamenyampaikan sumpahtidak akan merebut tahta kerajaan Hastinapura dari anak keturunanku. Perasaanku dibuat melambung dan berbunga-bunga.
Sungguh, rasanya tak ada lagi alasan bagiku untuk khawatir tentang masa depanku dan anak keturunanku. Namun, ambisi yang meluap dalam dadaku membuatku merasa tak cukup. Aku lalu meminta Dewabrata untuk bersumpah wadad. Kulihat Dewabrata tercekat dan bimbang mendengar permintaanku. Wajahnya berubah pias.
Eko Hartono
Tirtomoyo, 14 November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar