Kamis, 28 Juni 2012

Wayang: Kerja, Karya dan Dharma 2


Wayang: Kerja, Karya dan Dharma 2

  
Kilas Kisah Wayang di Jawa
Sifat Warna
Merah : Api Amarah Marah
Hitam : Bumi Aluamah Makanan
Kuning : Air Sufia Kesenangan
Putih : Udara Mutmainah Kesucian
Keempat kuda jelas dipadankan dengan empat nafsu, daya atau energi yang harus diarahkan pada satu tujuan. Nafsu empat akan berguna bagi kehidupan jika ia tidak dikacaukan hasrat penguasaan. Ia bukan hal yang patut dipertentangkan apalagi dihindarkan. Hidup nyatanya membutuhkan kekuataan dan gairah. Terkendalinya ego—yang berada di lintang empat itu— pada gilirannya akan mendorong pencapaian yang lebih tinggi lagi, yakni bersatunya: Rasa yang diwakili oleh Batara Narada; Roh-Batara Respati; Nafsu-Batara Parasu; Budi-Batara Janaka (Arjuna); dalam Diri yang hidup-Kresna (Lih. Woodward, 1999: 281, bdk. Stange,
1998: 57-58).

Para Pandawa sendiri seringkali diasosiasikan dengan panca indera sekaligus perlambang sifat. Dan orang Jawa senang sekali memadu-madankan sifat-sifat itu bagi dirinya maupun bagi kepentingan pedagogik yang lebih luas, bagi anak-anak mereka. Bima adalah lambang kekuatan sekaligus ketulusan. Pertemuannya dengan dirinya melalui Nawaruci adalah contoh paling klasik yang kemudian ‘meruwat’ kekurangannya: berjalan maju tanpa menimbang bimbang. Yudhistira adalah gambaran bagi altruisme sampai pada titik mengorbankan diri
dan akhirnya kepentingan yang lebih besar. Ia seringkali terjebak pada perasaan ‘tidak dapat berkata tidak’ dan dengan begitu selalu mem-butuhkan saudara-saudaranya untuk mengambil putusan yang berkait dengan kebijakan publik.
Sementara Arjuna, saking satria-nya tega untuk melakukan kekejaman dibalik kehalusan budi, watak dan penampilannya. Secara esensial wayang kerap membuka ruang perdebatan filsafat sekaligus contoh kasus
paling banyak dikutip. Tengoklah Gatholoco. Ia menanyakan manakah yang lebih tua, dalang, wayang, layar atau blencong. Ahamd Arif menjawab layar, Abduljabar menebak dalang dan Abdul manaf menyebut wayang.
Namun Gatholoco malahan menjawab yang paling tua adalah blencong. Dalam penjelasannya blencong diartikan sebagai wahyu Allah, layar adalah simbol dari raga, wayang adalah sejatinya suksma dan dalang
tiada lain adalah Sang Rassulullah.
“Dalang sekedar menggerakkan wayang, menurut perintah si penanggap, yang bernama Kyai Sepi. Semuanya sepi tanpa ada, adanya digelas sungguh-sungguh, abadi tak kunjung berubah, tidak kurang tidak lebih, tanpa aturan tanpa kegunaan, yang lebih menguasai atas gerak gerik wayang ucapan dalang. Yang menyaksikan
hanya Si Kyai hidup. Bila lampu telah padam, semuanya hampa, tak ada apa-apanya, bagai diriku sebelum dilahirkan, tetap kosong tak ada sesuatu apa pun. Lampu adalah wahyu kehidupan, seumpama Tuhan, cahaya hidup ini, menguasai dirimu luar dan dalam, bawah dan atas. Wujudmu adalah wujud Tuhan Yang Mahakuasa” (dalam Sumardjo, 2002: 332).
Ke-khasan wayang tidak semata berkutat pada siapa atau apa yang terlibat di dalamnya. Tiga babak besar dalam tiap pertunjukan wayang pun disebut Stange (1998: 66) sebagai gambaran dari proses ‘evolusi spiritual’.
Wayang biasanya dimulai pada pukul sembilan. Tiga jam pertama ini di kenal sebagai pengantar. Prolog atas kejadian, sebuah sebab-akibat yang kelak akan. Orang menyebut fase ini dengan Pathet Ném. Kata Ném sendiri kemudian diidentikkan dengan kata enom atau muda. Dicabutnya gunungan dari gedhebok pisang oleh sang dalang adalah lambang kelahiran yang dua, yakni pehelaan antar binary dalam kehidupan.

Pada tengah malam pertunjukan akan memasuki Pathet sanga. Masa ini diasosiasikan sebagai masa seorang dewasa memandang masalah, memilah dan menetapkan suatu nilai bagi dirinya. Pada masa ini Para Punakawan muncul dengan gojekan-gojekannya yang sarkas. Digambarkan pula bagaimana seorang tokoh berusaha menyelesaikan masalah. Biasanya penggambaran ini diwujudkan dengan usaha mempertemukan diri dengan diri malalui jalan tapa, menyepi dan lain sebagainya.
Geertz (1981: 369) menjelaskan usaha ini (tapa, menyepi, dsb) tidaklah dapat dipadankan dengan penolakan atas hidup. Yang tepat adalah pengunduran diri sementara atau dalam bahasanya “…bukanlah pelarian diri dari kehidupan, tapi pelarian dalam hiduplah yang dipuji”
karena inilah sesungguhnya etik satria. Pengunduran diri dengan demikian berfungsi untuk mempertemukan Diri dengan Realitas Akhir, sebuah usaha untuk meniadakan emosi yang duniawai. Dengan cara ini energi akan terfokus menjadi kekuatan besar yang bermanfaat. Pilihan pada akhirnya akan bergantung pada bagaimana tokoh tersebut melihat konteks permasalahan, “…mistik adalah sebuah ilmu yang netral secara moral dan bisa juga digunakan setiap orang. Ia membawa pengetahuan; dan sebagaimana halnya ilmu pengetahuan pada
umumnya, pengetahuan itu merupakan kekuasaan untuk kebaikan maupun keburukan” (Geertz: 1981: 366).

Usaha tapa, nyepi dan sebagainya ini sebenarnya dapat dipadankan dengan usaha penjarakan atau yang lebih dikenal sebagai distansiasi pada masyarakat modern. Ketika seseorang mempertanyakan yang mistis (yang diniscayai pun sekedar dipercayai tanpa di fikir) dengan demikian ia telah berada di ruang ontologis. Fase yang ontologis inilah yang pada gilirannya akan memperlihatkan fungsi dan senyatanya peran. Etik ksatria bermain di aras ini. Seperti layaknya Arjuna yang kejam atas nama keharusan ‘nasib’, tiap tokoh pada gilirannya akan memainkan perannya masing-masing dan wajib menyelesaikan tugasnya. Tidak ada yang dapat merubah kewajiban—bagaimanapun beratnya atau naifnya—itu kecuali perumusan ulang mengenai peran dan posisi tadi.
Puncaknya adalah persiapan bagi perang ageng dari tokoh yang telah menjadi ksatria itu. Pathet Manyura atau Burung Merak adalah fase akhir dari perjalanan tersebut. Fase ini dimulai sekitar pukul tiga dini hari sampai menjelang fajar dan merupakan gambaran bagi sebuah hari tua. Ia filosofis dan seakan memapar sisi-balik-senyap: sebuah kesimpulan akhir dari penggal perjalanan hidup.
Patut diketahui, sebagai lakon carita, Ramayana walau sama-sama menghadirkan satu epos besar sebenarnya tidaklah mendapat tempat yang sama dengan Mahabarata. Orang Jawa cenderung menyukai yang kedua. Mahabarata dianggap memiliki totalitas, tiap tokoh dapat dikatakan memiliki perjalanan sendiri-sendiri. Paling tidak ini terbukti dari banyaknya carangan yang dihasilkan sementara Ramayana hanya berkutat pada satu alur besar yang dianggap cenderung statis dan linear. Yang juga menarik adalah hadirnya Buto (raksasa) dan juga Sang Punokawan: Semar beserta anak-anaknya; Gareng, Petruk dan Bagong.
Buto adalah mahluk yang selalu ada baik dalam lakon Ramayana maupun Mahabarata. Ia tidak memiliki nama, tidak memi-liki leluhur dan ti-dak datang dari satu kerajaan. Katakanlah ia semacam mahluk tanpa identitas dan ber-curriculum vitae kosong. Namun demikian ia selalu hadir, ada, pun ketika ke-matian telah menjemput.
Mereka ini pada suatu waktu akan hidup lagi dan begitulah seterusnya. Geertz menjelaskan (1981: 363) imortalitas ini bagi orang Jawa kemudian disejajarkan dengan gambaran nafsu yang harus selalu ditiadakan. Satu kali berhasil bukan berarti selamanya manusia telah terbebas darinya (nafsu). Magnis-Suseno (2001: 166-167) menyebut fungsi buto sebagai pengontras antara ‘yang Jawa dan bukan Jawa’ sekaligus pembelokan dari tragik gelap Mahabarata. Secara teknis buto berfungsi adalah pengulur, penyekat dan menjaga adegan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar