Kamis, 28 Juni 2012

Wayang: Kerja, Karya dan Dharma 1


Wayang: Kerja, Karya dan Dharma 1  

Kilas Kisah Wayang di Jawa
Pernah diungkakan bahwa bagi orang Jawa “antara pekerjaan, interaksi dan doa tidak ada perbedaan prinsip hakiki” (Magnis-Suseno, 2001: 82) dengan demikian setiap aktivitas atau gerak diri sepenuhnya dikontrol oleh ‘kesadaran akan’. Dan derivasi dari seluruh filsafat Jawa adalah ‘mematenkan’ pengetahuan itu dalam sebuah karya. Hakikatnya, karya adalah puncak pengejawantahan hidup yang sesungguhnya bagi orang Jawa.

Dari jaman gemilang itu dikenal dan dikenanglah berbagai Pujangga, Pustaka, Pusaka dan Pusara, sebagai museum hidup: situs dan ritus kebudayaan, bahkan hingga keberadaannya hari ini. Namun demikian patut dicatat, pasca Ronggowarsito yang sering disebut sebagai pujangga penutup, atau pasca jatuhnya laskar-laskar Diponegoro (1825-1830), wajah Jawa banyak mengalami pergeseran dan perubahan. Jawa tidak lagi menghasilkan daur hidup yang sejatinya. Hal ini diperparah lagi bahwasanya priyayi-priyayi Jawa sebagai kelas menengah dalam struktur hierarki sosial Jawa tidaklah memainkan peran yang cukup signifikan. Namun
kemerosotan itu tertutupi dengan sosialisasi kesenian di tengah masyarakat—sebab memang hanya itulah yang dapat mereka lakukan. Mengomentari situasi tersebut, dalam sebuah terbitannya 42 tahun lalu, Anderson mengatakan :
“Di pedesaan perubahan terjadi dengan lebih lambat, dan disanalah budaya jawa yang tua paling kuat mempertahankan pegangan atas jiwa manusia. Meskipun demikian, musim gugur telah tiba. Pada pohon kebudayaan Jawa daun-daun jatuh satu per satu” (2003: 70).

Yang ada bagi Jawa hari ini adalah kebudayaan sebagai komoditas, utamanya komoditas wisata. Satu yang tersisa, katakalah demikian, adalah WAYANG. Bagaimanapun bentuknya kini kesenian ini dapat terus bertahan—walau toch tetap berada dalam nuansa yang mengharukan—dan ia dipercaya sebagai salah satu gawang pertahanan terakhir Jawa hari ini. Padanyalah Jawa sebenarnya menyandarkan diri.
Wayang memainkan peran penting dalam sejarah Jawa walaupun ia dianggap tidak asli berasal dari Jawa. Penelitian mengenai asal usul wayang sendiri belum mencapai kata sepakat hingga hari ini. Wayang dianggap berasal dari India dan dibuat pada kitaran 8-9 SM oleh Vyasa (Kresna Dvipayana).
Namun demikian bukan nama Vyasa saja yang menjadi kandidat bagi penulis Mahabarata, ada dua orang penutur lain di samping Vyasa tadi, mereka adalah Ugrasravas dan Vaisempayana. Awalnya kitab ini terdiri dari sekitar 24.000 kuplet dan pada gilirannya berkembang hingga menjadi 100.000 kuplet (Amir, 1997:42).
Lakon wayang Jawa sendiri seringkali mengadaptasi dua epik besar, Mahabarata dan Ramayana ataupun carangannya (cabang ceritanya) dan ini berlangsung sejak awal perkembangannya. Di Jawa, misalkan, lakon Arjunawiwaha, atau paling tidak dalam bentuk sastranya disadur pertama kali pada masa Prabu Dharmawangsa, abad ke-11 M, sementara Ramayana disadur sedikit lebih dahulu.
Lalu Kakawin Ramayana dibuat ± 903 M oleh Yogisvara. Kakawin ini mengikuti versi Bhattikavya yang dibuat di Khasmir pada abad ke-5 M dan tidak menyantumkan buku pertama dan terakhir Valmiki, yakni Bale Kanda dan Uttara Kanda. Yang menarik, tidak berselang lama dari penyadurannya, Kakawin Ramayana langsung dipentaskan. Hal ini dibuktikan dengan prasasti Balitung, “… si Geligi buat Hyang macerita Bhima ya kumara…”
atau “Geligi mengadakan pertunjukan wayang dan mengambil lakon Bima muda” (Amir, 1997: 34, 40).

Wayang menjadi suatu bentuk kesenian yang khas, utamanya karena sebenarnya ia berasal dari tradisi keraton namun kemudian justru hidup dalam rakyat kebanyakan. Menurut Geertz (1981: 358) ini karena sifat rakyat kebanyakan cenderung ritualis, politheis dan magis sementara para priyayi cenderung dekat yang mistik-pantheis dan spekulatif.
Secara sosial wayang memiliki posisi istimewa karena ia dianggap sebagai salah satu bentuk kesenian yang mampu menjembatani sekat-sekat yang ada. Ben Anderson (2003: 12) menyebutnya sebagai,
“….mitologi religius yang diterima hampir secara universal, yang mampu membina suatu keterikatan intelektual dan emosional yang mendalam. (…) mitologi wayang Jawa adalah suatu upaya untuk menjelajahi secara puitis posisi eksistensial orang Jawa, hubungan-hubungannya dengan tatanan alam nyata dan dunia gaib, kepada sejawatnya dan kepada dirinya sendiri. Sangat kontras dengan agama-agama besar Timur Dekat, bagaimanapun, ‘agama’ wayang tidaklah memiliki Nabi, Kitab Suci atau Sang Penebus. Tradisi ini tidak memandang dunia dalam perlintasan gerak yang linear, ataupun mengkhotbahkan pesan keselamatan universal. Tidak juga dia menawarkan ekstase sebagaimana pewahyuan masa depan seperti dalam tradisi
Kristen, semata pasang-surut Waktu yang ajek”.
Penjelasan Anderson ini menunjukkan relativisme wayang, termasuk nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yang mungkin sejalan dengan penjabaran istilah wayang yang ditengarai berasal dari kata bayang. Yang dikotomis dalam wayang adalah logika komplementer yang paling mendasar dari hidup. Yang dikotomis ini tidak saja berlaku pada saat atau kejadian melainkan juga pada tokoh, peran, karakter dan fungsi mereka yang bersinggung satu sama lain dan Anderson menyebut seluruh persinggungan ini sebagai “ketegangan yang selaras dan kestabilan yang energetik dari Weltanschauung” atau mengikuti rumusan Claire Holt, “dunia stabil yang didasarkan pada konflik”.
Ambillah sebagai contoh, Kresna Duta. Lakon terkenal yang menggambarkan turun tangannya Kresna dalam Baratayuda. Kresna yang titisan Wisnu menjadi tokoh yang mengetahui apa yang harus dan apa yang akan. Tidak ada yang merintangi kehendaknya untuk mengikuti dan memenuhi ketetapan takdir. Pada lakon tersebut digambarkan bagaimana empat ekor kuda beserta tokoh pengiringnya itu sebenarnya menjawab sifat komplementer dari panteon hindu sekaligus serangan syirik (charges of ideolatry) yang kerap ditudingkan kepada wayang, selain koneksitas Kalimasada milik Yudhistira dan Kalimat Syahadat Sunan Kali Jaga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar