W A Y A N G
Pindahnya Keraton
Kasunanan dari Kartasura ke Desa Solo (sekarang Surakarta) membawa perkembangan
juga dalam seni pewayangan. Seni pewayangan yang merupakan seni pakeliran
dengan tokoh utamanya Ki Dalang adalah suatu bentuk seni gabungan antara unsur
seni tatah sungging (seni rupa) dengan menampilkan tokoh wayangnya yang
diiringi dengan gending/irama gamelan, diwarnai dialog (antawacana), menyajikan
lakon dan pitutur/petunjuk hidup manusia dalam falsafah.
Seni pewayangan dapat
digelar dalam bentuk Wayang Kulit Purwa, dilatar-belakangi layar/kelir dengan
pokok cerita yang sumbernya dari Mahabharata dan Ramayana, berasal dari India.
Namun ada juga pagelaran wayang kulit purwa dengan lakon cerita yang di petik
dari ajaran Budha, seperti cerita yang berkaitan dengan upacara ruwatan
(pensucian diri manusia). Pagelaran wayang kulit purwa biasanya memakan waktu
semalam suntuk.
Semasa Sri Susuhunan
X di Solo didirikan tempat pementasan Wayang Orang, yaitu di Sriwedari yang
merupakan bentuk pewayangan panggung dengan pemainnya terdiri dari orang-orang
yang memerankan tokoh-tokoh wayang. Baik cerita maupun dialognya dilakukan oleh
masing-masing pemain itu sendiri. Pagelaran ini diselenggarakan rutin setiap
malam. Bentuk variasi wayang lainnya yaitu wayang Golek yang wayangnya terdiri
dari boneka kayu.
Seniman cina yang
berada di Solo juga kadang menggelar wayang golek cina yang disebut Wayang
Potehi. Dengan cerita dari negeri Cina serta iringan musiknya khas cina.
Ada juga Wayang Beber
yang dalam bentuknya merupakan lembaran kain yang dilukis dan diceritakan oleh
sang Dalang, yang ceritanya berkisar mengenai Keraton Kediri, Ngurawan,
Singasari (lakon Panji).
Wayang Klitik adalah
jenis pewayangan yang media tokohnya terbuat dari kayu, ceritanya diambil dari
babat Majapahit akhir (cerita Dhamarwulan).
Dulu terkadang
"wong Solo" memanfaatkan waktu senggangnya membuat wayang dari
rumput, disebut Wayang Rumput
Orang jawa mempunyai
jenis kesenian tradisional yang bisa hidup dan berkembang hingga kini dan mampu
menyentuh hati sanubari dan menggetarkan jiwa, yaitu seni pewayangan. Selain
sebagai alat komunikasi yang ampuh serta sarana memahami kehidupan, wayang bagi
orang jawa merupakan sibolisme pandangan-pandangan hidup orang jawa mengenai
hal-hal kehidupan.
Dalam wayang
seolah-olah orang jawa tidak hanya berhadapan dengan teori-teori umum tentang
manusia, melainkan model-model hidup dan kelakuan manusia digambarkan secara
konkrit. Pada hakekatnya seni pewayangan mengandung konsepsi yang dapat dipakai
sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok sosial tetentu.
Konsepsi-konsepsi
tersebut tersusun menjadi nilai nilai budaya yang tersirat dan tergambar dalam
alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap pandangan terhadap hakekat hidup, asal
dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
lingkungannya serta hubungan manusia jawa dengan manusia lain.
Pertunjukkan wayang
terutama wayang kulit sering dikaitkan dengan upacara adat: perkawinan,
selamatan kelahiran bayi, pindahan rumah, sunatan, dll, dan biasanya disajikan
dalam cerita-cerita yang memaknai hajatan dimaksud, misalnya dalam hajatan
perkawinan cerita yang diambil "Parto Krama" (perkawinan Arjuna),
hajatan kelahiran ditampilkan cerita Abimanyu lahir, pembersihan desa mengambil
cerita "Murwa Kala/Ruwatan"
KHUSUS WAYANG PURWA
Wayang purwa adalah
bagian dari beberapa macam yang ada, diantaranya wayang gedog, wayang madya,
wayang klitik purwa, wayang wahyu, wayang wahono dan sebagainya.
Wayang purwa sudah
ada beberapa ratus tahun yang lalu dimana wayang timbul pertama fungsinya
sebagai upacara menyembah roh nenek moyang. Jadi merupakan upacara khusus yang
dilakukan nenek moyang untuk mengenang arwah para leluhur. Bentuk wayang masih
sangat sederhana yang dipentingkan bukan bentuk wayang tetapi bayangan dari wayangan
tersebut.
Perkembangan jaman
dan budaya manusia selalu berkembang wayang ikut pula dipengaruhi bentuk
wayangpun berubah,
misalnya, bentuk mata wayang seperti bentuk mata manusia, tangan berkabung
menjadi satu dengan badannya. Hal ini dipandang kurang enak maka tangan wayang
dipisah, untuk selanjutnya diberi pewarna.
Perkembangan wayang
pesat pada jaman para wali, diantaranya Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan yang
lain ikut merubah bentuk wayang sehingga menjadi lebih indah bentuknya.
Langkah penyempurnaan
di jaman Sultan Agung Hanyakrakusuma, jaman kerajaan Pajang, kerajaan
Surakarta, jaman Pakubuwono banyak sekali menyempurnakan bentuk wayang sehingga
tercipta bentuk sekarang ini, dimana telah mengalami kemantapan yang dirasa pas
dihati pemiliknya.
Pengaturan wayang
Jumlah wayang dalam
satu kotak tidak sama trgantung kepada pemiliknya. Jadi ada wayang yang
jumlahnya 350 sampai 400 wayang, ada yang jumlahnya hanya 180 wayag dan ada
yang kurang dari 180 wayang. Biasanya wayang yang banyak, wayang yang rangkap
serta wanda yang banyak sesuai yang diinginkan. Pengaturan wayang pada layar
atau kelir atau disebut simpingan. Di dalam simpingan wayang ada simpingan
kanan dan simpingan kiri.
SIMPINGAN KIRI
1.Buto raton
(Kumbakarno)
2.Raksasa muda
(Prahasta,Suratimantra)
3.Rahwana dengan
beberapa wanda
4.Wayang Bapang (ratu
sabrang)
5.Wayang Boma
(Bomanarakasura)
6.Indarajit
7. Trisirah
8.Trinetra dan
sejenisnya
9.Prabu Baladewa
dengan beberapa wanda
9.Raden Kakrasana
10Prabu Salya
11.Prabu Matswapati
12Prabu Duryudana
13.Prabu Salya
14.Prabu Salya
15.Prabu Matswapati
16.Prabu Duryudana
17.Raden Setyaki
18.Raden Samba
20.Raden Narayana
Keterangan :
Pada contoh diatas
hanya secara garis besar saja. Jadi masih banyak nama tokoh yang tidak kami
cantumkan.
* Wayang Eblekan :
Yaitu wayang yang
masih diatur rapi didalam kotak, tidak ikut disimping.
Contoh: Buta brabah,
wayang wanara, wayang kewanan (hewan), wayang tatagan yang lain, misal: wadya
sabrang buta cakil dan lain-lain.
* Wayang dudahan :
Yaitu wayang yang
diletakkan di sisi kanan dhalang.
Contoh: Punakawan,
pandita, rampogan, dewa dan beberapa tokoh wayang yang akan digunakan didalam
pakeliran.
SIMPINGAN KANAN
Dimulai dari wayang
Tuguwasesa diakhiri wayang bayen. Adapun wayang yang disimping adalah sebagai
berikut :
1.Prau Tuguwasesa
(Tuhuwasesa)
2.Werkudara dari
beberapa macam wanda
3.Bratasena dari
beberapa macam wanda
4.Rama Parasu
5.Gatotkaca dari
beberapa macam wanda
6.Ontareja
7.Anoman dari
beberapa macam wanda
8.Kresna dari
beberapa macam wanda
9.Prabu Rama
10.Prabu Arjuna Sasra
11.Pandhu
12,Arjuna
13.Abimanyu
14.Palasara
15.Sekutrem
16.Wayang putran
17.Bati
Keterangan :
Wayang tersebut
disimping pada debog atau batang pisang bagian atas. Untuk batang pisang bagian
bawah hanya terdiri dari simpingan wayang putren.
Simpingan sebelah
kiri terdiri atas:
1.Buta raton
2.Wayang buta enom
(raksasa muda)
3.Wayang boma
4.Wayang Sasra
5.Wayang Satria
Untuk lebih jelasnya
mari kita lihat urutan yang diatur seperti tersebut dibawah ini :
Pakem Ringgit Purwa
Warni-warni:
Lakon-lakon: Peksi
Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya, Wangsatama Maling,
Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira, Lesmana Buru Bojone Bangbang,
Caluntang, Carapang Sasampuning Prang Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu
Wahana, Mayangkara, Tutugipun Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun
Jayaseloba, Doradresanala Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire
Pandhu, Lahiripun Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala,
Sasrabahu, Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem,
Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang
Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba Rambi,
Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra Rabi, Sancaka
Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi Mahendra, Sayembara Dewi
Gandawati, Sayembara Tal Pethak, Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma
Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa
Kaobongan, Sembadra Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon).
Pakem Ringgit
Wacucal:
Lakon-lakon: Kresna
Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah, Prabu Kalithi, Wilugangga,
Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa, Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala
(11 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa
Warni-warni:
Lakon-lakon: Sembadra
Edan, Sembadra Larung, Arjuna Besus, Sukma Ngembaraning Sembadra, Peksi Gadarata,
Wrekudara Dados Gajah, Cekel Endralaya, Manonbawa, Surga Bandhang, Bangbang
Kembar, Bangbang Danuasmara, Palgunadi, Bimasuci, Loncongan, Wrekudara Dipun
Lamar, Yuyutsuh, Samba Rajah, Sunggen Wilmuka, Lobaningrat, Anggamaya,
Brajadenta Balik, Tapel Sewu, Dewakusuma, Sunggen Gathutkaca, Sugata,
Tuguwasesa, Lambangkara, Semar Minta Bagus, Retna Sengaja, Prabu Pathakol,
Jayamurcita, Karna Wiguna, Bangbang Supena, Pandhawa Gupak, Gugahan Kresna,
Srikandhi Manguru Manah, Kresna Malang Dewa, Bangbang Sinom Prajangga Murca
Lalana dan Pandha Widada (42 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa:
Lakon-lakon:
Angruna-Angruni, Mikukuhan, Begawan Respati, Watugunung, Wisnupati, Prabu
Namintaya, Nagatatmala, Sri Sadana, Parikenan, Bambang Sakutrem, Bambang Sakri,
Bagawan Palasara, Kilatbuwana, Narasoma, Basudewa Rabi, Gandamana Sakit,
Rabinipun Harya Prabu Kaliyan Ugrasena, Bima Bungkus, Rabinipun Ramawidura,
Lisah Tala, Obong-obongan Pasanggrahan Balesegala, Bambang Kumbayana, Jagal
Bilawa, Babad Wanamarta, Kangsa Pragat, Semar Jantur, Jaladara Rabi,
Alap-alapan
Surtikanthi,
Clakutana, Suyudana Rabi, Jayadrata Rabi, Pandhawa Dulit, Gandamana, Kresna
Sekar, Alap-alapan Secaboma, Kuntul Wilanten, Partakrama, Gathutkaca Lair,
Setija, Bangun Taman Maerakaca dan Wader Bang (43 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa
Warni-warni:
Lakon-lakon: Sembadra
Edan, Sembadra Larung, Arjuna Besus, Sukma Ngembaraning Sembadra, Peksi
Gadarata, Wrekudara Dados Gajah, Cekel Endralaya, Manonbawa, Surga Bandhang,
Bangbang Kembar, Bangbang Danuasmara, Palgunadi, Bimasuci, Loncongan, Wrekudara
Dipun Lamar, Yuyutsuh, Samba Rajah, Sunggen Wilmuka, Lobaningrat, Anggamaya,
Brajadenta Balik, Tapel Sewu, Dewakusuma, Sunggen Gathutkaca, Sugata,
Tuguwasesa, Lambangkara, Semar Minta Bagus, Retna Sengaja, Prabu Pathakol,
Jayamurcita, Karna Wiguna, Bangbang Supena, Pandhawa Gupak, Gugahan Kresna,
Srikandhi Manguru Manah, Kresna Malang Dewa, Bangbang Sinom Prajangga Murca
Lalana dan Pandha Widada (42 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa
Warni-warni:
Lakon-lakon: Peksi
Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya, Wangsatama Maling,
Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira, Lesmana Buru Bojone Bangbang,
Caluntang, Carapang Sasampuning Prang Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu
Wahana, Mayangkara, Tutugipun Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun
Jayaseloba, Doradresanala Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire
Pandhu, Lahiripun Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala,
Sasrabahu, Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem,
Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang
Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba Rambi,
Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra Rabi, Sancaka
Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi Mahendra, Sayembara Dewi
Gandawati, Sayembara Tal Pethak, Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma
Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa
Kaobongan, Sembadra Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon).
Pakem Ringgit
Wacucal:
Lakon-lakon: Kresna
Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah, Prabu Kalithi, Wilugangga,
Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa, Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala
(11 wayang lakon).
Pakem Wayang Purwa I:
Ki Prawirasudirja
Surakarta.
Lakon-lakon: Angruna
Angruni, Bambang Srigati, Bathara Sambodana Rabi, Hendrasena, Ramaparasu,
Setyaki Rabi, Bagawan Sumong, Doradresana Makingkin, Tuhuwisesa, Sridenta,
Bratadewa, Jayawisesa, Janaka Kembar, Jayasuparta, Endhang Madyasari, Sekar
Widabrata, Samba Rabi, Partajumena Rabi, Calunthang dan Carapang.
Arti dan lambang
Jika anda nonton
wayang purwa, baik yang dipagelarkan semalam maupun yang dipergelarkan padat,
maka jika direnungkan benar-benar didalamnya terkandung banyak nilai serta
ajaran-ajaran hidup yang sangat berguna. Semua yang ditampilkan baik berupa
tokoh dan yang berupa medium yang lain didalamnya banyak mengandung nilai
filosafi. Secara gampang saja baru melihat simpingan wayang, orang telah
mempunyai penilaian. Bahwa simpingan kanan melambangkan tokoh yang baik,
simpingan kiri melambangkan tokoh yang jelek atau buruk. Kalau kita melihat
perangnya wayang, wayang yang diletakkan atau diperangkan tangan kiri pasti
kalah. Tetapi hal ini tidak semua benar.
Didalam pedalangan
kita kaya nilai-nilai di dalamnya. Nilai-nilai di dalam pedalangan diantaranya:
nilai kepahlawanan
contoh: tokoh
Kumbakarna, Adipati Karna.
nilai kesetiyaan
contoh: tokoh Dewi
Sinta, Raden Sumantri (Patih Suwanda) dan sebagainya..
nilai keangkara
murkaan
contoh: tokoh
Rahwana, Duryudana dan sebagainya.
nilai kejujuran
contoh: Tokoh
Puntadewa dan sebagainya. dan sebagainya. dan sebagainya.
Di sini masih banyak
nilai-nilai yang lain yang patut ditimba manfaatnya bagi kita semua. Arti
lambang juga terdapat didalam pakeliran lewat lakon-lakon wayang. Kalau kita
mengamati lakon Dewa Ruci di dalamnya mengandung lambang kehidupan manusia di
dalam mencapai cita-cita hidup kita harus dapat melewati beberapa tantangan,
kalau kita berhasil mencapainya kita akan mendapatkan buahnya.
Gunungan
Kalau kita melihat
pagelaran wayang kulit pasti akan melihat gunungan, dan lebih sering disebut
juga kayon. Dinamakan gunungan karena bentuknya mirip sepucuk gunung yang
mencuat tinggi keatas. Adapun kita melihat gunungan yaitu pada saat pakeliran
belum dimulai, gunungan ditancapkan tegak lurus di tengah kelir pada batang
pisang bagian atas. Tetapi jika pakeliran telah dimulai maka gunungan
ditancapkan pada simpingan bagian kanan dan kiri.
Gunungan terdapat
pada setiap pagelaran wayang, misalnya: wayang purwa, wayang gedog, wayang
krucil, wayang golek, wayang suluh dan sebagainya. Tetapi gambar gunungan kalau
kita lihat juga banyak dijadikan simbol, atau suatu lambang.
Contoh:
Dalam lingkungan
hidup atau sering disebut Kalpataru, digambarkan lambang sebuah kayon.
Kalau kita membedakan
jenis kayon atau gunungan itu ada dua macam yaitu:
Kayon Gapuran
Kayon Blumbangan
Adapun ciri-ciri
kayon gapuran adalah sebagai berikut :
Bentuknya ramping
Lebih tinggi dari
kayon blumbangan.
Bagian bawah
berlukiskan gapura.
Samping kanan dan
kiri dijaga dua raksasa kembar yaitu Cingkarabala dan balaupata.
Bagian belakang
berlukiskan api merah membara.
Adapun ciri-ciri
kayon blumbangan adalah sebagai berikut :
Bentuknya gemuk
Lebih pendek dari
keyon gapuran
Bagian bawah
berlukiskan kolam dengan air yang jernih.
Ditengah ada gambar
ikan berhadap-hadapan ditengah kolam.
Bagian belakang
berlukiskan api berkobar merah membara biasanya juga ada lukisan kepala makara.
Tanda dimulainya
pentas pedalangan dengan dicabutnya kayon lalu diletakkan pada simpingan kanan
dan kiri.
Tanda pergantian
adegan / tempat.
Contoh: Setelah
adegan Astina akan diganti adegan Amarta biasanya diawali dengan memindahkan
kayon atau memutar kayon lalu ditancapkan pada posisi semula.
Untuk menggambarkan
suasana.
Contoh : Suasana
sedih dalam suatu adegan, kayon digerak-gerakkan diikuti ceritera dalang.
Untuk menggambarkan
sesuatu yang tidak ada wayangnya.
Contoh:Suatu ajian
yang dikeluarkan dari badan tokoh wayang. Dewa tertinggi yang tidak ada
wayangnya.
Misalnya Sang Hyang
wenang dan sebagainya.
Menggambarkan air,
api, dan angin.
Contoh:Dari patet
enem ke patet sanga di tandai dengan perubahan letak kayon.
Misalnya dari kayon
condong kekiri dirubah gerak tegak lurus.
Tanda berakhirnya
pentas pakeliran yaitu dengan menancapkan kayon ditengah-tengah.
Gambar kayon
didalamnya berlukiskan
Rumah atau balai yang
indah dengan lantai bertingkat tiga.
Dua raksasa kembar
lengkap dengan perlengkapan jaga pedang dan tameng.
Dua naga kembar
bersayap dengan dua ekornya habis pada ujung kayon.
Gambar hutan
belantara yang suburnya dengan kayu yang besar penuh dengan satwanya.
Gambar macan
berhadapan dengan banteng.
Pohon besar yang
tinggi dibelit ular besar dengan kepala berpaling kekanan.
Dua kepala makara
ditengah pohon.
Dua ekor kera dan
lutung sedang bermain diatas pohon.
Dua ekor ayam hutan
sedang bertengkar diatas pohon.
Jadi kesimpulannya
gambar kayon didalamnya sudah melambangkan seluruh alam raya beserta isinya
mulai dari manusia sampai dengan hewan serta hutan dan perlengkapannya.
PARA DEWA (DEWA-DEWA)
Setelah kita
menguraikan secara sederhana tentang gunungan maka mulai kita menginjak
nama-nama dari pelaku wayang. Kita mulai dari nama-nama dewa. Jumlah dewa-dewa
dan dewi-dewi sangatlah banyak. Di sini yang ingin kami ketengahkan hanyalah
nama-nama dewa atau dewi yang sering digunakan di dalam setiap lakon wayang.
Kita mulai dari Batara Guru.
BATARA GURU
Nama lain :
Hyang jagad
Pratingkah
Sang Hyang catur buia
Sang Hyang Manikmaya
Tempat : Kayangan
Jonggirikaelasa
Istri : Dewi Uma
Anak :
1.Batara Indra
2.Batara Bayu
3.Batara Wisnu
4.Batara Brama
5.Batara Kala
6.Batara Sakra
7.Batara Mahadewa
8.Batara Asmara
Ayah Batara Guru :
Hyang Tunggal
Keterangan :
Batara Guru adalah
dewa yang merajai kayangan serta mengusai alam. Batara Guru pada saat
dilahirkan berwajah tampan serta tanpa cacat. Karena kecongkakannya dan merasa
bangga karena mempunyai wajah tampan dia akhirnya menerima hukuman dari Hyang
tunggal serta dewa yang Agung dengan bertangan empat, bercaling, leher berwarna
biru. Hal ini adalah buah dari perbuatannya. Batara Guru didalam ceritera
pedalangan sering mengganggu dunia dengan menyamar menjadi manusia ingin
menghancurkan Kyai Semar, Pandawa tetapi hal ini selalu kalah dengan kebajikan
dan kejujuran yang akhirnya Hyang Guru minta maaf dan kembali kekhayangan.
BATARA NARADA
Nama lain :
Kanekaputra
Tempat : adalah
kayangan Sudukpangudaludal
Keterangan :
Batara Narada adalah
ketua dari para dewa ia bertugas memimpin para dewa serta dewa yang dimintai pertimbangan
oleh batara Guru dalam segala hal. Tugas lain adalah menyampaikan anugerah pada
manusia serta mengamati kejadian di dunia. Asal mula batara Narada berparas
elokvdan sakti yaitu dia ingin mengalahkan para dewa maka bertapa terus
sehingga bertemu dengan dewa guru/Batara Guru.
Setelah terjadi
bantah Batara Guru kalah. Akibat hal itu batara Guru selalu memanggil kakang.
Batara Narada akhirnya berwajah buruk serta berbadan cebol karena pada suatu
ketika mendapat umpat batara Gutu sehingga seperti bentuk gambar diatas. Batara
Narada selalu melaksanakan tindakan kebenaran maka pada saat batara Guru
bertindak salah selalu dilawannya.
BATARI DURGA
Tempat : Hutan Setra
Gandamayit
Suami : Batara Kala
Bentuk : Raseksi yang
ganas dan bengis
Keterangan:
Batari Durga dahulu
adalah seorang putri yang cantik jelita berujud bidadari bernama dewi Uma. Ia
sangat dicintai oleh Hyang Guru. Peristiwa itu terjadi pada saat Hyang Guru
sedang rekreasi naik lembu Nandini melihat keindahan jagad raya, karena
asyiknya betara Guru timbullah nafsu asmara dengan dewi Uma. Tetapi dewi Uma
tidak mau karena mengingat sedang naik Lembu Nandini. Karena Batara Guru sangat
bernafsu maka kamanya jatuh di laut. Yang akhirnya lahir Batara Kala. Setelah
kejadian itu Dewi Uma diajak pulang. Di kayangan Batara Guru marah bukan
kepalang karena marahnya Betari Uma disabda menjadi reseksi yang bengis dan
disuruh kehutan Setra Gandamayit.
Mari kita melihat
kembali pada kejadian yang lalu, pada saat Batara Guru akan memaksa Batari Uma.
Maka Batari Uma mengutuk sikap Batara Guru seperti itu bagaikan raksasa. Maka
jadilah Batara Guru mirip raksasa dengan mempunyai caling. Atas kejadian itu
Batara Guru merasa masgul hatinya. Batari Durga dapat kembali ujut seperti
sedia kala setelah diruat oleh satria bungsunya Pandawa yaitu raden Sadewa.
Maka lakon itu disebut lakon Sudamala atau Durga ruwat.
Batari Durga di Setra
Gandamayit memerintah para jin, iblis, banaspati, gandaruwo, engklek-engklek
balung antandak dan sepadannya.
BATARA BRAMA
Tempat : Kayangan
Deksina di dalam pedalangan sering disebut kayangan Argadahana.
Ayah : Batara Guru
Istri : Dewi
Saraswati
Ibu : Batari Uma
Kesaktian : Dewa yang
menguasai api.
Keterangan:
Batara Brama pernah
memberikan pusaka Alugara dan Nanggala kepada raden Kakrasana pada saat ia
bertapa di pertapaan Arsonya. Maka seolah-olah Hyang Brama adalah guru dari
raden Kakrasana. maka kalau kita lihat bentuk wayang Prabu Baladewa, raden
Kakrasana mirip dengan bentuk wayang Batara Brama. Batara Brama selalu atau
sering mengikuti perjalanan Batara Guru ke Ngarcapada / Bumi menjelma menjadi
raja seberang dengan nama misal prabu Dewa Pawaka atau yang lain.
Hal ini dapat
digagalkan oleh Semar. Sehingga kehendaknya ingin memusnahkan Pandawa atau
membuat onar dunia tidak berhasil. Juga dapat dilihat dalam lakon lahirnya
Wisanggeni. Tujuan Batara Drama akan mengawinkan putrinya Dewi Dresanala dengan
Dewa Srani serta menceraikan radaen Arjuna. Hal ini dapat digagalkan oleh Semar
dan para Pandawa. Jadi kesimpulannya bahwa semua ulah dewa jika salah akan
kalah oleh tindakan manusia yang benar.
BATARA INDRA
Tempat : Kayangan
Jonggirisaloka
Kesaktian :
Batara Indra
mempunyai kekuasaan memerintah para Dewa atas perintah Hyang Guru. Batara Indra
mempunyai keahlian berperang dan banyak mempunyai panah sakti.
Anak :
Dewi Tara
Dewi Tari
- Dewi Gagar Mayang
- Batari Suprada dan
masih banyak lagi yang berwujud bidadari.
Ayah : Batara Guru
Ibu : Batari Uma
Keterangan :
Batara Indra mempunyai
kekuasaan atas para dewa dan para bidadari di sorga. Selain itu sering
memberikan anugrah atau hadiah pada siapa saja yang gemar bertapa dan membantu
ketentraman dunia serta permintaan titah yang sedang bertapa.
Sebagai contoh: Raden
Arjuna mendapatkan panah Pasopati sebagai panah sakti akibat dari dia bertapa
dan membantu atas ketentraman di kayangan, sehingga panah tersebut berguna di
dalam perang besar Baratayuda.
BATARA ANTABOGA
Kayangan : kayangan
Saptapratala atau Saptabumi
Anak : Dewi Nagagini.
Keterangan :
Batara Antaboga
adalah dewa ular maka disebut juga ujud naga besar. Hyang Antaboga mempunyai
putri cantik jelita yang diperistri raden Werkudara. Peristiwa ini terjadi pada
saat Pandawa ditipu Kurawa diajak berkumpul dan pesta. Tiba-tiba tempat
tersebut dibakar oleh para Kurawa dalam pedalangan dalam lakon Balesigalagala.
Pandawa tidak mati karena ditolong oleh garangan putih yaitu kajadian dari
Hyang Antaboga. Akhirnya Pandawa selamat Werkudara dikawinkan dengan dewi
Nagagini mempunyai keturunan raden Hanantareja.
BATARA KAMAJAYA
Tempat : Kayangan
Cokrokembang
Putra dari : Batara
Ismaya (Semar)
Istri : Batari Ratih
Keterangan:
Dewa ini berparas
elok serta selalu rukun bersama istrinya. Maka dari itu oleh orang jawa
dijadikan kegemarannya (idam-idaman) sampai pada cita-citanya. Kalau orang
mempunyai putra atau putri diharapkan berwajah elok dan cantik. Hal ini
terbukti di dalam acara tujuh bulan bayi di kandungan diadakan upacara mitoni
yang dilambangkan pada cengkir (kelapa muda) berlukiskan Batara Kamajaya dan
Batari Ratih.
BATARA SURYA
Putra dari : Semar
(Batara Ismaya)
Kekuasaan : Dewa
Matahari
Keterangan :
Batara Surya adalah
seorang dewa yang menguasai gerak Matahari. Serta dalam lakon lahirnya Karna
Betara Surya adalah salah satu dewa yang menurunkan raden Suryaputra dengan
ibunya dewi Kunti.
BATARA BAYU
Tempat tinggal :
Kayangan Panglawung
Ayah : Batara Guru
Ibu : Dewi Uma
Istri : Dewi Sumi
Kesaktian :
Batara Bayu mempunyai
kesaktian angin dan ia menjadi dewanya hewan, raksasa, dan manusia.
Yang tersebut
golongan putera dewa Bayu adalah :
Batara Bayu
Hanuman
Wrekodara Wil
Jajalpaweka
Liman setubanda
Sarpa Nagakuawara
Garudha Mahambira
Begawan Maenaka
Keterangan :
Batara Bayu pernah
menjadi raja di Mayapada di negara Medanggora, bergelar prabu Bhima. Pada
ceritera Pedalangan dalam lakon Bhima Bungkus di situ terlukis putera Pandu
yang masih berada dalam keadaan terbungkus, sebelum sang bayi berwujud sebagai
layaknya bayi biasa, Batara Bayu masuk kedalam bungkus sang bayi dan memberinya
busana seorang kesatria.
BATARA WISNU
Tempat : Kayangan
Utarasagara
Ayah : Batara Guru
Ibu : Batari Uma
Isteri : Dewi Pertiwi
BATARA KALA
Kayangan : kayangan
Selamangumpeng
Ayah : Batara Guru
Istri : Batari Durga
Keterangan :
Batara Kala lahir
dari Kama salah yang jatuh dilaut pada saat Batara Guru rekrasi dengan Batari
Uma (lihat hal Batari Uma). Batara Kala dilahirkan dalam wujud api yang
berkobar-kobar yang makin lama makin besar. Hal ini membuat gara-gara di
Suralaya, sehingga para dewa diperintahkan oleh Batara Guru untuk mematikan api
yang berkobar-kobar tetapi tidak mati, malah makin lama makin besar dan naik ke
Suralaya menanyakan bapaknya.
Karena Hyang Guru
kwatir kalau kayangan rusak maka Batara Guru mengakui kalau Kala adalah
anaknya. Maka diberi nama Batara Kala dan Batara Kala minta makanan, maka
Batara Guru memberi makanan tetapi ditentukan yaitu :
Orang yang mempunyai
anak satu yang disebut ontang-anting
Pandawa lima anak
lima laki-laki semua atau anak lima putri semua.
Kedono kedini, anak
dua laki-laki perempuan jadi makanan Betara Kala.
Untuk menghindari
jadi mangsa Batara Kala harus diadakan upacara ruwatan. Maka untuk lakon-lakon
seperti itu di dalam pedalangan disebut lakon Murwakala atau lakon ruwatan. Di
dalam lakon pedalangan Batara Kala selalu memakan para pandawa karena
dianggapnya Pandawa adalah orang ontang anting. Tetapi karena Pandawa selalu
didekati titisan Wisnu yaitu Batara Kresna. Maka Batara Kala selalu tidak
berhasil memakan Pandawa.
BATARA YAMADIPATI
Putra dari : Semar
(Betara Ismaya)
Tempat : Kayangan
Argodulamilah
Keterangan :
Betara Yamadipati,
dewa yang ditugasi mencabut nyawa dan menjaga neraka. Adapun wajah Yamadipati
berbentuk manusia dan wajah raksasa yang mengerikan. Yamadipati juga terseret
pada perbuatan tidak benar tetapi setelah direnungkan tidak baik, maka berbelok
pada posisinya semula.*
JENENGE RATU LAN
PANDHITA
1Prabu Arjuna
Sasrabahu ratu ing Maespati
2.Prabu Baladewa ratu
ing Mandura
3. Prabu Basudewa
ratu ing Mandura
4. Prabu
Bomanarakasura ratu ing Trajutrisna
5.Prabu Drupada ratu
ing Cempala
6.Prabu Dasarata ratu
ing Ngayodya
7. Prabu dasamuka
ratu ing Ngalengka
8. Prabu Drestarata
ratu ing Ngastina
9. Prabu Kresna ratu
ing Dwarawati
10. Prabu Karna ratu
ing Ngawangga
11. Prabu Maswapati
ratu ing Wiratha
12. Prabu
Niwatakawaca ratu ing Iman Imantaka
13. Prabu Pandhu
Dewanata ratu ing Ngastina
14. Prabu Puntadewa
ratu ing Ngamarta
15. Prabu Ramawijaya
ratu ing Pancawati
16. Prabu Salya ratu
ing Mandraka
17. Prabu Sugriwa
ratu ing Guwakiskendha
18. Prabu Suyudana
ratu ing Ngastina
19. Begawan Abiyasa
pratapane ing Saptaarga
20. Resi Bima
pratapane ing Talkandha
21. Pandhita Duma
pratapane ing Sokalima
22. Begawan Mintaraga
pratapane ing Indrakila
23. Resi Palasara
pratapane ing Ratawu
24. Resi Subali
pratapane ing Guwakiskendha
JENENGAN SATRIYA LAN
KASATRIYANE
1. Abimanyu : Satriyo
ing Plengkawati
2. Anoman : Satriyo
ing Kendhalisada
3. Arjuna : Satriyo
ing Madukara
4. Aswatama : Satriyo
ing Sokolima
5. Antarejo : Satriyo
ing Jangkarbumi
6. Dresthajumeno :
Satriyo ing Cempalarejo
7. Dursasana :
Satriyo ing Banjarjungut
8. Gatutkaca :
Satriyo ing Pringgodani
9. Jayadrata :
Satriyo ing Banakeling
10. Kumbakarana :
Satriyo ing Penglebur Gangsa
11. Lesmana Mandra :
Satriyo Saroja Binangun
12. Nakula lan Sadewa
: Satriyo ing Sawojajar
13. Samba : Satriyo
ing Paranggaruda
14. Setiyaki :
Satriyo ing Lesanpura
15. Sengkuni :
Satriyo ing Plasajenar
16. Werkudara :
Satriyo ing Jodhipati
SENJATA LAN AJI-AJI
1.Antareja : upas
anta
2.Aswatama : senjata
cundhamanik
3. Baladewa :senjata
kunta, gada nanggala lan alugara
4. Dasamuka : senjata
candrasa, pedhang sokayana aji-aji pancasona
5. Gathutkaca :caping
basunandha, kotang antakusuma. Aji-aji narataka
6. Indrajit : senjata
nagapasa lan wimohanastra
7. Janaka : panah
pasopati, soratama, ardhadhedhali, keris pulanggeni, kalanadhah.aji-aji
sepiangin
8.Jayadrata : gada
rujakbeling
9. Karna : senjata
kunta, keris kaladite, panah wijayandanu.aji-aji kalalupa
10. Kresna :senjata
cakra. aji-aji wijayakusuma
11. Kumbakarna :
aji-aji gedhongmenga, pelakgelak sakethi
12. Puntadewa :
aji-aji kalimasada, songsong tunggulnaga
13. Ramawijaya :
panah gunawijaya
14. Salya : aji-aji
candhabirawa
15. Subali : aji-aji
pancasona
16. Werkudara : gada
rujakpolo, lukitasari, kuku pancanaka
Pedalangan
PAKEM DAN LAKON
PEWAYANGAN
Lakon-lakon
pewayangan itu adalah bagian pokok dari pada pergelaran seni pedalangan, baik
untuk waktu semalam suntuk maupun untuk 4 jam atau mungkin hanya waktu 2 jam,
namun lakon tersebut kedudukannya tetap, ialah merupakan pokok dari pada
pergelaran seni pedalangan.
Membicarakan tentang
lakon-lakon pewayangan, disengaja atau tidak disengaja, tentulah menyangkut apa
yang disebut “pakem” yang dalam bahasa Jawa berarti: pathokan, paugeran atau
wewaton.
Semua itu merupakan
“pedoman” yang tak dapat diabaikan sama sekali. Yang disebut pakem itu meliputi
2 macam hal yang dalam pergelaran terpadu menjadi satu kesatuan, ialah : (1).
Pakem tentang lakon; dan (2). Pakem yang mengenai tehnik perkeliran.
Pada waktu
dipergelarkan dalam perkeliran dua pakem itu satu sama lain saling isi-mengisi
dan jalin-menjalin, sehingga dapat mendatangkan suatu proses ceritera yang
mengandung keindahan serta pendidikan yang tinggi.
LAKON-LAKON
PEWAYANGAN
Lakon-lakon pewayangan
yang begitu banyak dipergelarkan dewasa ini, pada hakekatnya dapat dibagi
menjadi 4 bagian, ialah: 1. Lakon wayang yang disebut pakem; 2. Lakon wayang
yang disebut carangan; 3. Lakon wayang yang disebut gubahan; 4. Lakon wayang
yang disebut karangan.
Perinciannya sebagai
berikut :
1. Lakon pakem : yang
disebut lakon-lakon pakem itu sebagian besar ceriteranya mengambil dari
sumber-sumber ceritera dari perpustakaan wayang, misalnya : lakon Bale
Sigala-gala, pandawa dadu, baratayuda, rama gandrung, subali lena, anoman duta,
brubuh ngalengka dll.
2. Lakon carangan :
yang disebut carangan itu hanya garis pokoknya saja yang bersumber pada
perpustakaan wayang, diberi tambahan atau bumbu-bumbu berupa carangan (carang
Jw = dahan), seperti lakon-lakon : babad alas mertani, partakrama, aji
narantaka, abimanyu lahir dll.
3. Lakon gubahan :
yang disebut gubahan itu ialah lakon yang tidak bersumber pada buku-buku
ceritera wayang, tetapi hanya menggunakan nama dan negara-negara dari
tokoh-tokoh yang termuat dalam buku-buku ceritera wayang, misalnya lakon-lakon:
irawan Bagna, gambiranom, dewa amral, dewa katong dsb.
4. Lakon karangan :
yang disebut lakon karangan itu ialah suatu lakon yang sama sekali lepas dari
ceritera wayang yang terdapat dalam buku-buku sumber ceritera wayang, misalnya
lakon-lakon : praja binangun, linggarjati, dsb. Dalam lakon praja binangun
tersebut diketengahkan nama tokoh-tokoh wayang seperti : ratadahana (Jendral
Spoor), Kala Miyara (Meiyer), Dewi Saptawulan (Juliana), Bumiandap (Nederland)
dsb.
Perlu pula diketahui
bahwa lakon-lakon wayang yang disebut carangan, gubahan dan karangan itu,
banyak juga lakon yang merupakan kiasan, misalnya : Lakon babad alas mertani
mengandung kias assimilasi (perkawinan) falsafah Hindu dan Jawa. Demikian pula
lakon-lakon seperti : pandawa Pitu, Pandawa Sanga, senggana racut dsb itu
berisi kias dan maksud mengenai ilmu kebatinan (baca: kejawen).
SUMBER CERITERA
WAYANG
Untuk mengetahui
sesuatu lakon wayang itu apakah pakem atau bukan, tidaklah mudah, apabila orang
tidak mengenal dan memahami sumber ceritera wayang.
Adapun sumber
ceritera wayang itu ada 2 macam, ialah :
1. Sumber-sumber
ceritera wayang yang berupa buku-buku, misalnya : Maha Bharata, Ramayana,
Pustaka Raja Purwa, Purwakanda dll.
2. Sumber-sumber
ceritera wayang yang semula berasal dari lakon carangan atau gubahan yang telah
lama disukai oleh masyarakat. Sumber-sumber ceritera ini disebut “pakem
purwa-carita” yang kini sudah banyak juga yang dibukukan, misalnya lakon-lakon:
Abimanyu kerem, doraweca, Suryatmaja maling dlsb.
Perlu diketahui pula
bahwa dalam hal sumber-sumber ceritera wayang inipun, seringkali terdapat
cemooh-mencemooh satu sama lain. Asa yang beranggapan, bahwa hanya “serat
pustaka raja” itu sajalah yang benar. Ada lagi yang berpendapat, bahwa hanya
‘serat purwakanda” itu saja yang benar dlsb. Anggapan-anggapan dan
pendapat-pendapat yang demikian itu disebabkan oleh pengaruh adopsi ceritera
wayang itu telah lama dan mendalam, sehingga menimbulkan keyakinan bahwa
ceritera wayang yang dimuat dalam buku sumber ceritera wayang tersebut
benar-benar ada dan terjadi dinegara kita ini. Padahal kalau ditilik dari
sejarahnya, induk/sumber ceritera wayang itu, baik ramayana maupum maha
bharata, kedua-duanya itu merupakan weda (kitab suci) agama hindu yang kelima,
yang disebut panca weda. Kedua kitab tersebut memuat pelajaran weda yang
disusun berujud ceritera.
Serat ramayana
diciptakan oleh resi walmiki menceriterakan pelaksanaan karya Awatara Rama
untuk mensejahterakan dunia. Serat Maha Bharata diciptakan oleh Resi Wyasa,
menceriterakan pelaksanaan karya Awatara Krisna juga untuk mensejahterakan
dunia.
SERAT PURWAKANDA
Mungkin diantara para
pembaca ada yang baru sekali ini mendengar adanya “purwakanda”, sebab buku
“purwakanda” itu sampai sekarang belum pernah dicetak serta beredar dalam
masyarakat seperti “Pustaka raja purwa” dll.
“purwakanda” itu
adalah salah satu sumber ceritera wayang di Yogyakarta yang memuat kisah sejak
bathara guru menerima kekuasaan dari sanghyang tunggal sampai dengan
bertahtanya R. Yudayana sebagai Raja di negeri Ngastina. Buku tersebut
berbentuk tembang dan yang ada mungkin hanya di Yogyakarta saja, baik dalam
karaton maupun diluarnya. Menurut kata orang yang mengetahui, ‘serat
purwakanda” tersebut dihimpun atas perintah almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono
V
Penghimpunan dan
penyusunan Serat Purwakanda ini kira-kira bersamaan waktunya dengan almarhum
R.Ng.Ronggowarsita di SOLO,yang juga menghimpun dan menyusun Serat Pustaka Raja
Purwasita yang terkenal itu. Serat purwakanda tesebut oleh sebagian
dalang-dalang di Yogyakarta, terutama dalang-dalang dari keraton Yogyakarta
dijadikan sumber lakon-lakon wayang dalam perkelirannya,sedangkan di Solo
adalah Serat Raja Purwasito.
PAKEM TEHNIK
PERKELIRAN
Pakem tehnik
perkeliran atau wewaton tehnik perkeliran itu setiap daerah atau setiap gaya
tentu ada dan sudah barang tentu tidak dapat diabaikan sama sekali. Hal itu
erat sekali hubungannya dengan perasaan indah yang hidup di masing-masing
daerah. Misalnya perkeliran gaya sala berbeda dengan gaya yogya. Berbeda pula
dengan gaya banyumas, tegal, jawa timur, dll. Mungkin hal ini pula
sangkut-pautnya dengan falsafah hidup dalam masyarakat itu sendiri-sendiri.
Maka dari itu uraian
tentang pakem atau wewaton tehnik perkeliran, pada kesempatan ini kami batasi
dengan hanya mengemukakan wewaton tehnik perkeliran menurut seni pedalangan
gaya Yogyakarta.
Pergelaran seni
pedalangan gaya Yogyakarta yang diperkelirkan semalam suntuk itu, pada dasarnya
terbagi dalam 3 bagian yang besar, ialah:
1. Permulaan pergelaran
dengan “pathet lasem” yang sering juga disebut “pathet nem”.
2. Lalu disusul
dengan “pathet sanga” ; dan
3. Kemudian dengan
“pathet manura” , yang pada akhir pathet mayura ini disebut “galong” (pada
waktu fajar menyingsing).
WEWATON-WEWATON PADA
TIAP-TIAP BAGIAN (PATHET)
Pertama : Dalam
“pathet lasem” harus ada dua jejeran (adegan) dan dua peparangan yang diiringi
dengan gending-gending pathet lasem. Jejeran pertama diiringi gending
karawitan. Jejeran kedua gending iringannya tidak ditentukan, sehingga Ki
dalang bebas memilih gending apa yang dipakai sebagai iringan, tetapi haruslah
gending-gending “pathet nem”.
Kiranya perlu
diketahui pula, bahwa adegan “Gupitmandragini” (kedatonan) dan adegan
paseban-njawi adalah rangkaian dari pada jejeran.
Dua adegan perang
dalam bagian permulaan disebut ‘perang ampyak” dan “perang simpangan”. Perang
ampyak menggambarkan rampongan meratakan jalan, dipergelarkan pada akhir
jejeran pertama. Sedangkan perang simpangan ialah peperangan setelah jejeran
yang kedua.
Apabila pada jejeran
pertama ada tamu, yang kemudian berperang, perang ini disebut “perang kembang”.
Kalau ada perang kembang, perang ampyak harus ditiadakan. Jadi dalam pathet
lasem tetap hanya ada dua macam perang.
Kemudian pada akhir pathet
lasem ada jejeran lagi ialah jejeran yang ketiga. Jejeran yang ketiga ini
diiringi gending-gending pathet lasem yang yang bersifat peralihan. Misalnya
gending “bondet” atau gending-gending lain yang “ber-gong jangga dan lima”.
Sebab setelah gending suwuk, Ki dalang harus lagon pathet sanga. Jejeran yang
ketiga ini disusul dengan adegan perang yang disebut “perang gagal”.
Mulai dari perang
kembang sampai dengan perang gagal itu, menurut wewaton tidak diperbolehkan ada
peranan yang mati. Disamping itu dalam pathet lasem juga tidak diperbolehkan
adanya “gladangan” (adegan yang tidak diiringi gending).
Kedua : Dalam “pathet
sanga”, setelah suwuk gending peralihan, bagian pertama (pathet lasem) telah
selesai, maka pergelaran menginjak bagian yang kedua ialah “pathet sanga”. Dan
perang gagal itu kemudian disambung dengan “gara-gara”.
Dalam pathet sanga
ini harus ada dua jejeran dan dua adegan perang yang diiringi dengan gending
pathet sanga, kemudian gending pathet sanga yang bersifat peralihan ke pathet
manyura. Kedua jejeran tersebut yang pertama : merupakan jejeran yang keempat
dari pada pergelaran seluruhnya, sedang jejeran yang kedua: yang diiringi
dengan gending pathet sanga peralihan merupakan jejeran yang kelima. Adapun
gending-gending pathet sanga peralihan ialah gending “renyep” dlsb yang
ber-“gong jangga”.
Jejeran keempat
tersebut diperkelirkan setelah gara-gara dengan iringan gending yang tidak
ditentukan. Ki dalang bebas memilih gending untuk mengiringi adegan ini. Adapun
dua adegan perang dalam pathet sanga itu ialah “perang gagal” seperti tersebut
diatas dan “perang begal” yang dipergelarkan setelah jejeran yang keempat. Di
dalam pergelkaran perang begal ini baru boleh ada yang mati. Dan setelah perang
begal ini Ki dalang boleh mempergelarkan adegan dengan “gladagan”. Setelah
perang begal, lalu disambung dengan jejeran yang kelima seperti tersebut
diatas.
Ketiga : dalam
“pethet mayura” ada dua jejeran dan tiga adegan perang ialah jejeran yang
keenam dan ketujuh serta adegan perang yang kelima, keenam dan ketujuh dari
pergelaran keseluruhannya. Ketiga adegan perang tersebut disebut “perang
tanggung”, “perang tandang” dan “perang ageng”. Perang tanggung itu
dipergelarkan setelah jejeran yang kelima. Jadi perang ini merupakan awalan
dari pathet mayura. Sedangkan perang yang keenam ialah perang tandang,
dipergelarkan setelah jejeran yang keenam. Adapun perang yang ketujuh dan
terakhir, yang disebut perang ageng itu, dipergelarkan pada akhiran pathet
mayura yang disebut “galong”.
Jadi wewaton tehnik
perkeliran seni pendalangan semalam suntuk gaya Yogyakarta itu pada dasarnya
terbagi menjadi 3 bagian yang ada pergelarannya terdiri dari 7 jejeran dan 7
adegan perang.
MAKNA DARI KIASANNYA
Pada hakekatnya
wewaton tehnik pakeliran seni pedalangan yang demikian itu, tidak hanya sekedar
membuat wewaton, akan tetapi wewaton tersebut mengandung arti yang lebih dalam
lagi yaitu merupakan kias atau saloka yang mengandung mitologi jawa yang luhur
itu adapun keterangannya demikian dasar terbagi tiga itu, mengandung maksud
“triwikrama” yang artinya melangkah tiga kali : purwa, madya dan wasana/metu,
manten, mati. Triwikrama mengandung pengertian kehidupan manusia di dunia, yang
mengalami 3 masa : masa kanak-kanak, masa dewasa dan masa tua lalu kemudian
wafat mitos tersebut mayakini benar-benar bahwa yang disebut mati itu
sebenarnya hanya peristiwa berpisahnya badan halus dan kasar/raga dan sukma -
jasmani dan rohani (roh) dalam mitos tersebut yang berfaham hindu surga itu ada
9 tingkatan untuk itu pagelaran seni pedalangan sering terdengar kata-kata
“swarga tunda sanga” sedangkan surga tingkat kesembilan disebut “mokswa”
Sukma dari orang yang
meninggal apabila dalam keadaan suci, pertama-tama masuk ke dalam surga tingkat
pertama, untuk melanjutkan ke tingkat surga kedua sukma tersebut harus
mengalami lahir lagi di dunia dan harus ditingkatkan lagi kesuciaannya dari
pada wadah hidup yang pertama, dalam istilah Jawa disebut “ Tumimba Lahir “ /
Reincaratie .
Dalam paham ini
manusia tentu mempunyai keinginan untuk mencapai surga ke tingkat kesembilan
yang disebut Muksa tadi, untuk diperlukan “ Tumimba Lahir “ sampai tujuh kali
lagi. ( dalam sumber buku pewayangan sering kita jumpai kata-kata “ Manjanmo
Kaping Pitu “ demikianlah wewaton jejeran tujuh kali dan adegan perang tujuh kali
menurut pegelaran seni pedalaman gaya Yogyakarta merupakan perlambang Tumimba
Lahir tujuh kali, untuk mendaptkan kesuciaan yang sempurna lalu muksa.
Sumber diambil dari:
karatonsurakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar