Mencari ‘Sukrasana’
Menemukan pemimpin sekaliber Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Tan Malaka terlalu mewah bagi bangsa kita.
Dalam degradasi watak manusia Indonesia yang serius, kini kita hanya butuh pemimpin yang memiliki kapasitas orang baik yang mrantasi (memberi solusi).
Kriteria orang baik itu mungkin bisa kita temukan dalam sosok Sukrasana, tokoh dalam pewayangan yang buruk secara fisik tapi sakti dan berwatak mulia. Ahli filsafat dari UGM, Damarjati Supadjar, memaknai Sukrasana sebagai ”suka sarana” atau memberikan jalan penyelesaian atas masalah. Makna itu merupakan analogi dari watak solider Sukrasana. Ia selalu siap berkorban untuk kepentingan orang lain, atas dasar cinta dan pengharapan mewujudkan dunia yang ideal.
Sukrasana bahkan tak pernah berhitung untung dan rugi atas pilihan itu. Termasuk ia harus terbunuh oleh kakaknya sendiri, Bambang Sumantri. Padahal, sang kakak telah dibantunya hingga berhasil menjadi bagian dari elite kekuasaan raja agung Harjuna Sasrabahu.
Sukrasana adalah monumen kesetiaan, integritas, dan komitmen yang telah menjadi rujukan kolektif. Dalam jagat politik kita yang dikuasai pencitraan ala Arjuna yang serba kinclong dan moblong-moblong (pesona diri yang berlebihan), Sukrasana menjadi antitesis yang sangat strategis. Ia melawan arus besar kegandrungan publik atas pemimpin yang memiliki keindahan citra fisik dan mentalitas manusia salon.
Terbukti, para pemimpin ala Arjuna itu tak memberikan perubahan signifikan bagi bangsa ini. Sebaliknya, bangsa ini justru harus melayani segala kemanjaan para ”Arjuna”, sekaligus jadi tong sampah bagi keluhannya.
Lebih menyedihkan lagi, para ”Arjuna” itu sering ngabul-abul (mengacaukan) kas kerajaan untuk membiayai kepentingan dirinya yang tidak terbatas. Anggaran pendapatan dan belanja kerajaan pun sering kali mereka gerogoti secara sistemis.
Kewajiban profetis
Manusia ”Sukrasana” tak memiliki mentalitas borjuistis-hedonistis ala Arjuna. Ia adalah manusia esensi atau manusia substansi yang tak butuh rumbai- rumbai artifisial dan mentalitas kemaruk. Ia telah mencapai titik kesempurnaan sebagai makhluk Tuhan; sebuah fase di mana ia mampu melenyapkan seluruh ego dan superegonya.
Ia selalu berpikir bahwa dirinya tak lebih dari sekadar titah, makhluk Tuhan yang memiliki kewajiban profetis, semacam tugas kenabian untuk membeberkan dan mewujudkan nilai-nilai ideal kehidupan. Satu-satunya pamrih dalam dirinya adalah pencapaian cita-cita yang membawa kemaslahatan bagi banyak orang. Bukan ingin dipuji atau merampas simpati publik.
Bagi manusia ”Sukrasana”, segala pencitraan tak lebih dari kosmetik untuk menutupi berbagai borok, baik borok personal, borok politik, maupun borok sosial. Sukrasana tak butuh bedak dan gincu pencitraan karena ia tak punya borok. Ia sangat percaya diri untuk tampil lugas, apa adanya, penuh sikap kesatria. Ini dadaku, mana dadamu, begitu ia berucap tanpa niat sombong, tapi tegas dan berani.
Kesederhanaan, kejujuran, kepatutan, dan kelayakan menjadi dasar kehadiran manusia ”Sukrasana”. Sikap ini bisa dimaknai sebagai asketisisme, pengekangan diri atas godaan duniawi yang menjebak manusia pada kubangan lumpur artifisialitas dan akhirnya bisa mengubah watak seseorang menjadi culas.
Konkretnya, karena manusia ”Sukrasana” adalah manusia esensi dan substansi, ia tidak membutuhkan cash flow tinggi untuk mengongkosi segala kegenitan dan kerakusan yang umumnya diidap manusia kebanyakan. Alhasil, manusia ”Sukrasana” tak perlu merendahkan diri menjadi pembobol APBN atau ”bertiwikrama” menjadi koruptor.
Sinergi elemen bangsa
Kita yakin bangsa ini memiliki manusia-manusia ”Sukrasana” meskipun jumlahnya sangat kecil. Mereka bisa berada di gerbong-gerbong kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif) atau di lembaga-lembaga pendidikan, budaya, sosial, dan politik.
Dalam jagat kekuasaan yang dihegemoni oleh para raksasa dan rakseksi, manusia-manusia ”Sukrasana” cenderung tidak diberi atau mendapat tempat. Mereka malah justru dianggap sebagai gangguan, bahkan tak jarang dianggap ancaman. Kejujuran selalu jadi energi anomalis bagi struktur kejahatan.
Langkah terbesar dan strategis seluruh elemen bangsa ini adalah menghadirkan manusia-manusia ”Sukrasana” dalam kontestasi politik pada Pemilu 2014. Partai- partai politik, lembaga-lembaga sosial, budaya, agama, pendidikan, pers, dan seluruh pemangku kepentingan lain bangsa ini bisa membangun sinergisitas untuk memunculkan manusia-manusia berkaliber ”Sukrasana” menjadi pilihan rakyat.
Ini momentum penting untuk mengubah Indonesia yang punya masa depan konstitusional. Tentu saja bukan kedaulatan berlanggam kapital dan pasar yang dikendalikan kekuatan asing dan para makelar kekuasaan!
INDRA TRANGGONO Pemerhati Kebudayaan; Tinggal di Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar